style
Langganan

Seni di Minggu Pagi

by Nuzul Ilmiawan  - Espos.id Lifestyle  -  Sabtu, 5 Oktober 2024 - 07:30 WIB

ESPOS.ID - Ilustrasi Cerpen Seni di hari Minggu (Solopos/Istimewa)

“Tidak semua orang membayangkan keberhasilan seperti apa yang ada di kepalamu,” demikian kataku kepada Sarah yang menyandarkan kepalanya di jendela. Dia gelisah, pipinya merah, tersisa mendung di matanya. Tangisnya baru saja usai beberapa waktu lalu. Anaknya, Randi, tidak mau sekolah hukum.

Sarah sebelumnya menghubungiku di Minggu pagi yang cerah ini, “Bisa mampir kemari?” ujarnya. Segera aku menduga ini pasti persoalan anak laki-lakinya yang baru tamat sekolah. Sudah beberapa minggu ini ia sering menceritakan anaknya itu kepadaku, yang kerap disuruh melanjutkan pendidikan mengambil program studi bisnis. Tapi, anaknya tidak mau.

Advertisement

“Hidupku adalah hidupku. Itu katanya,” ucap Sarah. “Bayangkan! Anakku sendiri mengatakan itu kepadaku.” Sarah kemudian menangis lagi. Ia menutup mukanya dengan kedua tangan.

Aku meraih badannya dan mendekapnya rapat-rapat, menunggunya berhenti menangis. Kuelus-elus rambutnya. “Tidak apa-apa, suatu hari manusia mendapatkan kesadarannya. Manusia seperti apapun tabiatnya pasti menemukan caranya berpulang pada kebaikan.”

“Kau tak mengerti,” ujarnya setelah melepas pelukanku. “Randi mau kuliah seni murni. Parahnya dia bilang padaku, dia ingin mengabdikan hidupnya untuk seni. Apa yang kau tahu tentang seni? Pengabdian terhadap seni artinya seseorang rela menjadi miskin.”

“Aku tak mau anakku susah sepertiku dulu…”

“Sesuatu yang bila dilakukan sungguh-sungguh dan penuh kerja keras, maka tak ada yang sia-sia,” balasku.

Sarah memalingkan mukanya. “Ah,” desahnya seraya menepuk paha, “Seandainya hanya dengan kerja keras cita-cita dapat digapai, sungguh dunia ini bakal kehilangan orang-orang malas. Tapi nyatanya, kerja keras saja tak cukup.”

Perkataannya membuatku menyipitkan mata. Kukatakan padanya, “Ini aneh, mengapa sekarang orang tak percaya lagi dengan kerja keras. Malahan kita mengolok-oloknya dan mendewakan menjadi biasa dan medioker.”

Advertisement

“Kau tahu, zaman sekarang orang suka betul memanfaatkan kerja keras orang lain,” timpal Sarah. “Bila mereka tahu kau seorang pekerja keras, akan banyak pekerjaan yang ditimpakan kepadamu sementara mereka senang-senang saja makan hasil yang sudah kau kerjakan. Kerja keras tak menjanjikan apa-apa. Justru bila kau punya orang tua pejabat atau saudara pengusaha yang kaya raya, itu sudah cukup sebagai jaminan kau takkan melarat.”

“Jadi, tiada gunalah berseni-seni itu. Sudah kukatakan hal demikian kepada Randi, namun anak itu benar-benar keras kepala!” katanya lagi. Sarah melemparkan pandangannya ke luar jendela, menatap pekarangan dan jalanan depan rumahnya yang lengang.

“Jangan bilang begitu,” ujarku. “Dia anakmu sendiri. Lagipula, bila memang kau tak berkenan Randi kuliah seni, mengapa tidak pendidikan seni saja? Bukankah kau bilang bahwa dia pernah berkeinginan menjadi guru?”

“Sama saja,” jawab Sarah. “Apa yang seorang guru dapatkan? Tidak ada. Hanya kesedihan dan kesusahan yang lain. Di mana-mana kau mendengar tangisan guru, tapi adakah yang mendengarnya?”

Aku tersenyum, “Guru itu bukan pekerjaan, guru itu panggilan nurani. Beruntunglah sebuah bangsa bila orang-orangnya mendamba menjadi guru. Kapan terakhir kali kau mendengar seorang anak bercita-cita menjadi guru? Memang kehidupan kebanyakan guru itu miskin di negeri ini, tapi dia kaya oleh kemuliaan. Dan jangan lupa, kau sendiri adalah guru.”

“Iya, aku seorang guru. Hanya saja, aku mengorbankan diriku menjadi guru supaya anak-anakku tidak menjadi guru.”

“Lagipula,” sambung Sarah, “Kemuliaan seperti apa yang kau maksudkan itu? Setiap tahun guru ditimpa beragam macam persoalan baru. Kebijakan kurikulum sebentar-bentar berubah. Sudah pekerjaannya banyak, gajinya kerap dikurangi, tunjangan-tunjangannya dipotong dengan bermacam alasan. Jika kami memperlakukan sesuatu yang mulia, aku tidak mengerti lagi apa itu mulia. Atau barangkali kitalah bangsa yang mengaku paling mulia yang sebenarnya hanya sekumpulan orang-orang bermuka dua.”

Advertisement

“Coba jawab, seberapa sering kau bertemu orang yang enggan betul menjadi guru, tapi sangat suka menggurui orang lain?”

Aku tersenyum dan menelan ludah. 

“Tapi, anakmu, bukanlah anakmu,” ujarku. “Mereka adalah anak kehidupan yang merindukan dirinya sendiri. Kau boleh memberikan cintamu, tetapi bukan pikiranmu. Kau bisa memelihara tubuhnya, tapi bukan jiwanya. Jiwanya tinggal jauh di rumah masa depan yang takkan bisa kau datangi, bahkan dalam mimpimu sekali pun. Bukankah demikian penyair itu berkata?”

Kurayu Sarah dengan mengelus punggungnya, “Baiknya jangan memaksakan pilihan seorang anak. Semakin kau menjeratnya dalam kepalan tanganmu, semakin ia menjadi susah. Semakin dia tersusah, semakin dia terjepit. Ketika seseorang terjepit, dia menderita. Dan dalam penderitaannya, dia menjadi kaya oleh seni. Lalu kau malah semakin membuatnya yakin pada seni yang menyelamatkan. Seni itu lahir dari penderitaan, Sarah, dan dari seni, perjuangan seseorang atau suatu kaum dimulai.”

Sarah tidak membalas. Dia terus melihat ke luar. Selintas terbang seekor burung dari pohon mangga yang sebelum meloncat sempat bersiul beberapa patah lagu. Aku memperbaiki posisi dudukku, kemudian menggenggam kedua tangannya.

“Lihat aku,” kataku tersenyum dengan mata berbinar, “Biarkan dia ambil seni, syukur-syukur sukses. Andaikata gagal, percayalah dia pasti kecewa. Ketika dia kecewa, sebut saja dia bergabung jadi tentara. Namun suatu hari dia kalah dalam perang, kekecewaannya yang baru pun muncul. Dunia jadi menyebalkan baginya. Maka Randi akhirnya memutuskan jadi kanselir, lalu dia mengubah negara dalam kediktatoran dan memulai perang dunia sebagai pembalasan dendamnya.”

“Bukankah itu ide yang brilian?” tanyaku sambil tertawa.

Advertisement

Sarah hanya terkekeh, dia menemukan senyumnya kembali. “Aku tak mau dunia hancur hanya karena anakku gagal berseni.”

Aku tertawa lagi, “Sudahlah, setiap orang punya jalan hidupnya sendiri. Dan bukankah dia sama sepertimu, dulu juga ingin kuliah seni. Omong-omong, suamimu ke mana?”

“Keluar bersama teman-temannya.”

“Randi di kamar?”

“Tidak,” Sarah melenguh.

“Tumben, biasanya jam segini dia masih tidur.”

“Tidak. Hari ini dia ikut pameran di balai kota,” jawab Sarah. Dengan cemberut dia bercerita, “Pagi-pagi sekali ada beberapa orang kawannya datang ke rumah membantunya mengangkut banyak kanvas dari dalam kamar.”

Advertisement

Perempuan itu berdiri dari sofa. Dia memajukan kedua tangannya dan sambil memperaga dia melanjutkan, “Kau harus lihat seluruh kekumuhan pada dunia seni. Rambut panjang, rambut gimbal, kering kusut. Mata merah, kelopaknya turun, wajah mengantuk. Telinga beranting peluru, leher berkalung duri. Pakaiannya acak-acakan, celana jins sobek-sobek, sepatunya robek, benangnya keluar, bertahun-tahun tak pernah diganti, dan mereka sebut itu berkesenian.”

Dia mendongak, memegang kepalanya dengan kedua tangan. “Berkesenian artinya berkebudayaan. Ketika semacam itu dianggap seni, sama artinya kita membiarkan kekumuhan menjadi sebuah budaya.”

“Tapi,” aku menimpal, “Adakah salah seorang di antara teman Randi yang memberikan salim cium ke tanganmu?”

“Semuanya menyalamiku.”

“Ya! Itu cukup,” kataku kemudian ikut berdiri. “Seni adalah sebuah sikap. Sikap menolak seorang tuan dan menghormati kebijaksanaan. Di dunia yang serba terikat ini hanya senilah yang merdeka. Lagipula di luar itu, tak seorang pun berhak menilai orang lain hanya dari cara mereka berpakaian, bukan?”

“Ya, aku tahu itu. Tapi persoalannya jika melulu begitu, suatu hari preman dan seniman tak ada bedanya. Sebab itulah tiada lagi yang menghargai seni di negeri ini karena seni tampak serupa ciptaan dari orang tak beradab.”

“Sebab itulah orang harus berkesenian, Sarah,” jawabku. “Berkesenian artinya berliterasi, bukan sekadar membaca, melainkan mampu memilah-milih informasi. Ketika orang terlalu terpaku pada otak, mereka akan mencelakakan manusia, sebab itulah orang harus mampu pula mencerna lewat hatinya dengan berseni. Dengan begitu ilmu yang bertumbuh tak hanya tajam, tapi juga lembut dan memanusiakan manusia.”

Advertisement

“Ah, sudahlah, seni ujung-ujungnya juga dipakai sebagai jalan cari uang.”

Aku sekadar tertawa, “Sar, mengapa kau sangat sentimental terhadap seni?”

Sarah mendesah panjang setelah menghirup napasnya dalam-dalam. Dia merenung sejenak. Dengan menoleh dia bilang, “Tampaknya karena pikiran anakku telah teracuni oleh seni.”

Aku menggeleng seraya tersenyum, “Bukan, kau hanya kecewa dengan dirimu sendiri karena kau seorang pengecut. Kau tak punya cukup keberanian mengejar mimpimu menjadi seniman.”

Kudekatkan tubuhku kepadanya, kemudian mengambil kedua tangannya dan meremasnya kuat-kuat, “Seniman adalah pekerjaan memerdekakan jiwa, Sarah. Seseorang yang hendak merdeka harus kuat menderita. Harus kuat menahan lapar. Harus kuat menahan nafsu. Harus kuat dirinya dicemooh orang banyak, dipandang sebelah mata, dipandang gagal di sana-sini, dipandang tak beradab seperti yang kau katakan barusan. Dan harus selalu siap berhadapan dengan segala macam bentuk pertentangan di dalam dirinya sendiri. Dirinya yang harus siap bahwa takdir sewaktu-waktu dapat memenggal kepalanya.”

“Oleh karenanya, seniman harus menelanjangi kejujuran dirinya kepada orang-orang. Yang artinya, menjalani seni kau harus bersedia mempersetankan cakap orang. Namun kenyataannya, kau menolaknya dan lari jauh-jauh darinya karena ketakutanmu. Kau kubur dalam cita-cita itu dengan memilih terjebak kenyamanan palsu hidupmu sendiri. Dan suatu hari kau mulai sadar, lalu menyesal, mengapa kau memilih jalan hidup yang seperti ini…dan bukan mengejar mimpi-mimpimu.”

Setelah berkata panjang itu, aku diam, lebih-lebih Sarah. Dia menunduk lalu berpaling ke kanan dan kiri, lalu menatap ke depan, dan menunduk lagi. Perempuan itu berusaha keras bersembunyi dari sesuatu yang letaknya tepat di depan wajahnya.

Advertisement

Kemudian dia mengusap air mukanya, lalu berjalan menuju jendela dan merenung cukup lama di sana. Di luar, tak sebuah pun kendaraan melaju. Tak hanya rumahnya yang sepi, jalanan aspal itu pun seolah-olah meredup. Namun, ada dua ekor burung merdeka yang bernyanyi menemani. Nada-nadanya naik-turun di sekeliling daun-daun yang berdesir ditiup udara pagi. Gumpalan sekawanan awan hanya melangkah lambat di angkasa. Tak lama, matahari kekuningan yang sebelumnya terhalang mencuat di antaranya, menjadi sebuah karya seni untuk Sarah.

Perempuan itu sekonyong-konyong tersadar bahwa aku telah tiada. Diperhatikan sekelilingnya yang tak bersuara. Dia mengucek matanya. Sarah mengorek telinganya cepat-cepat. Tetapi ia tetap tak menemukan siapa-siapa. Ia terjatuh lalu menangis sesenggukan.

Minggu yang murung, seseorang telah terjebak dalam rumahnya. Dia sendirian tanpa apa-apa untuk dipegang. Berikut ia tersadar, kehilanganku adalah kehilangan dirinya sendiri. Sarah menelan dalam-dalam ludahnya yang terasa pahit. Ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa membakar dengan amat perih.

Ketika dia melihat keluar lewat matanya yang berair, sesuatu yang jauh terbayang di kepalanya. Dia melintasi lorong waktu yang kemudian mengantarkannya pada sebuah pemandangan beberapa puluh tahun lalu. Seorang gadis diasingkan di bawah pohon angsana di pekarangan sekolah oleh teman-temannya karena seragam putihnya yang kuning kecokelatan, sepatunya robek, dan badannya bau.

Di kelas, dia termangu menahan laparnya ketika melihat anak-anak lain dapat jajan di kantin. Anak itu menahan dirinya ketika guru matematika menghardik kemampuannya berhitung. Menahan malu kala ditertawai sekumpulan perempuan di jam olahraga. Bersabar dikatai orang yang memandangnya aneh, yang kerap diam-diam menyingkir lalu bermenung di kamar mandi.

Tetapi, bagaimanapun, kenangan itu tak pernah ia lupa bahwa diam-diam dalam keterasingan dan kesedirian, dia memilikiku sepenuhnya. Dia menuliskan aku di buku catatannya.

Diam-diam dia menggambar aku di halaman belakang buku sekolahnya. Sebab itu, diam-diam dia bahagia.

Namun kini, perempuan itu telah beranjak amat dewasa. Pada hari yang baru berjalan setengah, ia hanya termenung selepas menemukan bahwa seluruh ruangan yang sunyi ini adalah hidup yang telah kehilangan dirinya sendiri. Bila orang terus lari dari mimpi-mimpinya, akankah mereka dapat dikatakan menjalani hidup?

“Dan dalam sekejap, kesedihan meraup seluruh kesadaranmu. Kau terjerat dalam bayang-bayang pikiranmu, pertentangan-pertentangan dirimu sendiri. Kau susah. Kau gelisah. Ada banyak suara menjengkelkan yang mengelilingimu, menghardikmu, menangis kepadamu, dan kau terjepit. Terpojok oleh keberadaanmu sendiri. Kau merasa hampa. Dan kau merana.”

“Namun dalam penderitaan itu, diam-diam sekali lagi seni memanggilkan namamu. Lantas, akankah kau menyambut tangannya kali ini?” Begitu bisikku dari dalam jiwanya.

2024

 

Nuzul Ilmiawan, alumnus Sastra Indonesia Universitas Andalas, Padang. Lahir di Bireuen, 19 Oktober 2001.

 

Advertisement
Ayu Prawitasari - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif