Aspek fisik, kata dia, pilihlah mainan yang berbahan ramah lingkungan. Jika bahan mainan itu terbuat dari kayu hendaknya dipilih yang tidak terlalu keras. Jika bahan mainan terbuat dari plastik atau melamin, hendaknya dipilih yang tidak mengandung formalin atau zat berbahaya lainnya.
“Dalam hal ini perusahaan [pembuat mainan] juga harus ikut menjaga keamanan produknya. Karena kalau mainan itu untuk anak kecil biasanya anak kecil sering kali memasukkan mainan itu ke mulut, digigit, diremas, dilempar dan sebagainya. Karena itu harus hati-hati,” ujar dia ketika dihubungi Esposin, Selasa (2/12/2014).
Menurut dia mainan anak hendaknya diuji keamanannya, setidaknya harus memenuhi standar nasional Indonesia (SNI). Karena mereka yang menggunakan adalah anak-anak di antaranya anak usia di bawah tiga tahun (batita), anak usia di bawah lima tahun (balita) dan sebagainya yang dinilai belum bisa melihat adanya bahaya di mainan itu.
Dari aspek psikologis, kata Juliani, bentuk dan jenis mainan harus membuat anak gembira, memunculkan rasa ingin tahu yang mendalam, dan sebagainya. Dia mencontohkan permainan bola yang bisa melenting, bagus untuk merangsang rasa ingin tahu anak.
Tatkala bola yang dimainkan itu melenting, menurutnya anak menganggap bola itu hidup. Dengan begitu dia akan mengejar bola yang melenting tersebut. Si anak akan merasa senang karena dia merasa bisa memengaruhi atau menggerakkan benda lain. Hal ini dinilai bisa merangsang psikomotorik anak untuk berkembang.
Dia menjelaskan permainan lain yang dinilai baik diberikan kepada anak adalah permainan yang berwarna-warni, permainan ayunan dan sebagainya. Permainan ayunan, kata dia, merupakan permainan yang beruna melatih rasa kebersamaan anak.
“Ketika main ayunan dilakukan dua anak, karena yang satu membantu mengayun, bisa melatih kerja sama di antara mereka. Saat bermain ayunan dengan anak lain yang sebaya, anak bisa bersosialisasi dengan anak lain. Ini penting karena jika di rumah anak biasanya selalu dinomorsatukan oleh anggota keluarga lain karena masih kecil,” jelasnya.
Jika bersosialisasi dengan teman sebaya, ujar Juliani, anak akan mendapat pengalaman bahwa dalam hidup seseorang tidak harus menang. Kadang harus mengalah demi menghormati keinginan orang lain sehingga terjadi harmonisasi.