Outbound sering dianggap sebagai permainan di luar ruangan. Jalan-jalan atau bertualang di alam bebas sering dianggap sebagai outbound. “Inilah tantangannya, kami harus menghadapi orang dengan keinginan yang berbeda. Banyak yang terjebak dengan anggapan bahwa flying fox itu sudah jadi outbound,” kata Anas Kamaludin dari Langit Biru Indonesia. “Padahal ada konsep dari A-Z yang semuanya berhubungan,” tutur Anas.
Promosi Kisah Klaster Usaha Telur Asin Abinisa, Omzet Meningkat Berkat Pemberdayaan BRI
Menurut Anas, ada konsep yang panjang di balik setiap outbound. Dari pengalamannya sebagai provider, Anas dan rekan-rekannya memulai rencana outbound dari sebuah analisis calon peserta. Setelah menganalisis masalah, baru mereka membuat konsep yang akan ditawarkan kembali pada klien. Jika klien setuju, baru semuanya dijalankan.
“Ada yang salah kaprah dengan outbound, banyak yang menganggap outbound itu hanya bermain di lapangan, selesai,” imbuh Tono Indrayanto alias Tobang dari SM Enterprise.
Sebagai orang yang cukup lama di dunia pelatihan, Tobang memang tidak sembarangan menuruti keinginan kliennya. Kadang-kadang ada klien yang memintanya untuk mengisi pelatihan dengan target sangat tinggi, padahal pelatihan hanya berlangsung singkat dan melibatkan ratusan peserta. “Kalau cuma fun game atau ice breaking bisa saja tapi kalau mengubah karakter orang, saya bilang tidak mungkin.”
Tobang berusaha mengedukasi pasar dengan tidak sembarangan menerima target dari orang lain. Tujuannya adalah agar masyarakat menyadari bahwa outbound adalah sebuah pelatihan. Dia pun enggan untuk bermain di semua level pasar dengan menerapkan tarif apa adanya.
Soal tarif, setiap outbound memiliki harga yang berbeda tergantung jumlah peserta dan programnya. Ada tiga jenis tingkatan program dalam outbound, mulai dari fun game, fun building capacity dan full capacity building. Ketiganya memiliki tingkat kesulitan dan waktu yang berbeda. “Untuk fun game cukup setengah hari bisatapi untuk full capacity building butuh waktu empat hari full.”