Sunat perempuan masih dilakukan, agama dan budaya menjadi alasannya.
Harianjogja.com, JOGJA-Sunat perempuan dinilai bias gender. Sebab manfaat belum terbukti, dampak buruk terhadap kesehatan dan psikis dapat terjadi tetapi praktiknya masih dipelihara.
Promosi 3 Tahun Holding UMi BRI, Layani 176 Juta Nasabah Simpanan dan 36,1 Juta Debitur
Pakar Gender sekaligus Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM), Basilica Dyah PutrantiAda kontestasi atau polemik yang terjadi di antara beberapa pihak terkait isu sunat perempuan. Di satu sisi ada kelompok-kelompok LSM perempuan, aktivis HAM, sementara di sisi lain ada kelompok agama seperti kaum ulama dan MUI. Pemerintah dinilai akan tetap mengambil posisi di tengah untuk menjembatani kedua pihak atau kekuatan tersebut.
“Hal itu tampak dari keluarnya Peraturan Menteri Kesehatan pada 2010 lalu. Peraturan tersebut mengizinkan tindakan sunat terhadap perempuan bahkan menambahkan prosedur tentang praktik yang aman. Maka, tak heran tarik ulur seperti ini masih akan terus berlangsung,” kata Basilica seperti dikutip dari rilis yang Harianjogja.com terima akhir pekan lalu. (Baca Juga : Permenkes Sunat tak wajibkan perempuan dikhitan)
Terkait dengan data atau angka sunat perempuan di Indonesia, praktik-praktik tersebut sebenarnya bisa terdeteksi, tetapi belum pernah ada pelaporan yang transparan. Adapun praktik sunat perempuan oleh beberapa kelompok masyarakat masih terus dilakukan dari waktu ke waktu.
Basilica menduga ada kemungkinan angka sunat perempuan cukup tinggi mengingat adanya fundamentalisme agama yang menguat beberapa tahun terakhir ini. Praktiknya tidak lagi tradisional melainkan dilakukan oleh tenaga medis. Maka, sekali lagi penting untuk melibatkan tenaga medis untuk turut serta dalam upaya menghentikan praktik sunat perempuan.