SOLO--Ia hanya mondar-mandir—kadang berdiri di depan lemari tanpa pintu yang berisi buku-buku, kadang berdiri di balik jendela kamar yang setengah terkuak seraya menatap keluar.
Sebuah buku tulis lusuh yang dia pegang tergulung oleh tangan keriputnya yang kerap gemetar. Tak seperti biasa, sampai hari menjelang siang, tak satu pun buku yang berhasil ia baca, juga tak sebaris kalimat yang berhasil ia tulis di buku yang dipegangnya itu.
Promosi Jaga Lingkungan Event MotoGP Mandalika, BRI Peduli Berhasil Kelola 22 Ton Sampah
Ia risau karena Dian, anak bungsunya, tak kunjung pulang dari sekolah. Bukan karena khawatir atau apa, ia hanya ingin bercerita kepada Dian tentang masa lalunya sebagai penulis hingga kini ia menghasilkan banyak buku yang ditaruh di lemari itu.
Ia hanya ingin menceritakan hal itu kepada Dian sebagaimana hari-hari sebelumnya. Ia jera dan bersumpah untuk tak bercerita lagi kepada Sisil, anak sulungnya, sebab sekali waktu Sisil dengan terang-terangan nyerocos kepadanya, “Kenapa ayah membanggakan karya-karya yang cuma berupa buku itu? Apalah artinya buku, tak bisa membahagiakan keluarga. Coba kayak Pak Hamid, ayahnya Sari, teman saya itu. Dia bukan penulis, tapi penghasilannya banyak sehingga dia kaya. Sari enak bisa hidup dalam keluarga kaya. Mau minta apa saja bisa.”
Kata-kata Sisil itu membuat ia terperanjat kaget. Jantungnya seperti ingin copot. Ia tak bisa menjawab apa pun selain cuma menganga. Sama seperti saat istrinya meninggal.
Dian akan selalu setia berada di sampingnya. Mendengar semua cerita ayahnya yang temanya selalu tentang menulis. Ia tak pernah memotong setiap cerita yang disampaikan ayahnya itu kecuali ketika dirinya tidak mengerti.
Dian sebenarnya mulai bosan juga dengan cerita itu, tapi ia tahu, bahwa dengan mendengar seperti itu, ayahnya bisa bahagia.
“Dulu, aku diundang ke mana-mana untuk mengisi pelatihan menulis. Aku dikenal banyak orang karena fotoku selalu tersiar di koran, tepatnya di bagian bawah karyaku,” ia tersenyum bangga.
Dian mengangguk. Senyum penghargaan selalu terlukis di bibirnya yang mungil. Kadang ia juga mendengar cerita sambil memijati tubuh ayahnya yang ringkih yang kerap diguncang batuk kering.
“Dari honor tulisan dan pelatihan itu kemudian aku bisa membelikanmu susu,” lanjutnya dengan suara agak karat. “Yang ingin kusampaikan kepadamu intinya sebenarnya bukan kehebatanku. Tidak! Aku tidak hebat, tapi perjuanganku untuk terus bertahan sebagai penulis meski harus berhadapan dengan banyak rintangan,” napasnya sengal lalu batuk.
Sampai saat ini ia masih tak bisa lepas dari kebiasaan lamanya menulis di buku. Setelah itu, barulah ia kemudian menyalinnya di komputer.
Komputer tua dengan Word 98 masih teronggok di samping lemarinya. Warnanya pudar. Huruf-huruf pada keyboard nya banyak yang mengelupas. Namun, ia hafal posisi setiap huruf meski cara mengetiknya masih tak cepat.
Walaupun harus berkacamata dan kadang gemetaran di depan komputer, ia tetap tak bisa lepas dari kegiatan menulis. Itu karena dirinya beranggapan bahwa kegiatan menulis bukan cuma soal mendapatkan materi.
Ia ingin mensyukuri setiap gagasan yang Tuhan berikan di dalam kepalanya agar tak terbuang mubazir. Selain menulis, ia juga masih aktif membaca. Masih berlangganan surat kabar. Kerap juga ia minta bantuan Dian untuk membeli buku-buku terkini secara online.
Apabila surat kabar atau buku itu diterima Sisil dari kurir, sudah pasti Sisil akan memasukkannya ke tempat sampah tanpa merasa bersalah sedikit pun. Wajahnya yang jarang senyum semakin tampak cemberut.
Sisil selalu merasa apa yang dilakukan ayahnya tidak bisa memberikan kebahagiaan bagi keluarganya. Bagi Sisil, penghasilan seorang penulis pas-pasan, hanya mampu untuk bertahan hidup, dan tentu saja jauh dari sejahtera.
Sedang Dian berbeda dengan Sisil. Ia merasa apa yang jadi pekerjaan ayahnya adalah sesuatu yang perlu disyukuri karena selain berbeda dengan aktivitas orang kampung pada umumnya, pekerjaan ayahnya juga bisa mencerdaskan anak bangsa.
Lagi pula, Dian merasa tak sepenuhnya apa yang dituduhkan Sisil kepada ayahnya itu benar. Setahu Dian, ayahnya adalah orang yang bertanggung jawab. Meski kesehariannya sering digunakan di dalam kamar untuk membaca dan menulis, tapi ia tetap memberikan uang belanja dan uang jajan kepada anak-anaknya dengan wajar dari hasil menulis.
Terlepas tak sekaya tetangganya, bagi Dian itu urusan lain. Dian memahami takaran rezeki setiap orang berbeda. Toh dalam amatan Dian tak semua tetangganya kaya-kaya, ada juga yang biasa-biasa saja seperti dirinya meski si tetanggnya itu sudah bekerja keras.
“Kak! Saya rasa perjuangan ayah bagi kita sudah cukup bagus. Sedari kecil kita tumbuh dari hasil ayah menulis. Raga kita tumbuh dari hasil kerja keras otak ayah dalam meramu kata-kata,” ungkap Dian kepada Sisil pagi itu.
“Bagus bagaimana, wong kita tak kaya-kaya.” “Selama kita tak ada kekurangan dan tak punya utang, itu sudah kaya, Kak!” Sisil tak menjawab. ia hanya tertawa terbahak-bahak. “Kita tak bisa membeli mobil dan motor terbaru,” lanjut Sisil dengan ekspresi sinis. “Oh! kalau begitu keinginan kakak yang terlalu tinggi.” “Diam kamu!”
Nyaris setiap pagi, sambil ditemani Dian yang beres-beres untuk berangkat sekolah, ia selalu membersihkan lemari tuanya dengan kemoceng bulu ayam. Dijangkaunya setiap debu yang memaram di setiap buku hingga ke sela paling kecil.
Komputer tuanya di samping lemari selalu menyala, di layarnya pasti terpampang tulisan yang masih belum selesai dengan kursor yang terus berkedip-kedip di bagian ujung.
Semakin hari, suaranya kian karat dan dalam. Batuk keringnya kerap mengguncang tubuhnya yang kurus. Jika sepintas melihat wajahnya, yang tampak hanya ceruk kedua matanya dengan biji yang seperti hendak mencuat keluar.
Semua tepi bagian bawah wajahnya dipenuhi jambang putih, semipanjang, dan semrawut. Sepadan dengan uban panjangnya yang juga tak pernah disisir. Di hari tuanya, ia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan menulis dan membaca ketimbang mengurus diri dan kesehatannya.
Ada kalanya Dian yang mencukur jambangnya, menyisir rambutnya, menyuruhnya mandi, memberinya parfum, dan mengajaknya sekadar jalan kaki sebagai upaya olahraga. Tapi. itu tak berlangsung lama, karena pada akhirnya ia hanya ingin menulis dan membaca, tak ingin melakukan yang lainnya.
Sisil semakin membencinya, ia menganggap apa yang dilakukan ayahnya adalah bentuk egoisme. hanya demi hobi dan enaknya sendiri. Untuk kesekian kalinya Sisil marah-marah di depan Dian dan ayahnya. Mengungkapkan semua kejengkelannya.
Dian dan ayahnya hanya diam. Dian pun hanya bisa menyimpulkan dalam hati bahwa Sisil secara tak langsung menganggap ayahnya orang gila yang tak berguna. “Suatu saat komputer dan lemari itu akan kulenyapkan jika ayah tetap terus-terusan begini,” ancam Sisil sembari menuding.
Ia cuma menunduk sambil melinangkan air mata. Sesekali menoleh ke wajah Dian.
Ia tak pernah menduga dirinya akan diundang ke Ibu Kota untuk acara malam penghargaan bagi para penulis tua. Di acara itu, selain mendapat hadiah yang besar, ia punya kesempatan bercerita di panggung yang dilihat oleh ratusan hadirin dan jutaan pasang mata melalui televisi.
Ia meminta Dian selalu ada di sampingnya karena khawatir dengan kondisi tubuh ringkihnya.
Dengan hati jujur, ia pun bercerita tentang kehidupannya sebagai seorang penulis. Cerita tersebut dimulai ketika ia mengisi lemarinya dengan buku-buku, aktivitas membacanya yang padat membuat otaknya berisi banyak hal dan terdesak untuk mengungkapkannya lewat tulisan.
Mulanya ia menulis di buku, lalu di mesin ketik hingga akhirnya ia mampu membeli komputer. Tulisan-tulisannya dikirim ke media dan diikutkan lomba hingga ia berhasil menerbitkan buku dan sesekali diundang sebagai pemateri.
“Keluarga saya, termasuk ini,” sebentar ia diam saat telapak tangannya memegang bahu Dian. Para tamu undangan larut dalam rasa haru dan penasaran.
Ia beralih menatap wajah Dian sebelum akhirnya ia menunduk dan terisak,” Anak ini besar dari hasil saya menulis,” suaranya gemetar dan serak. Dian pun mengangguk dan melinangkan air mata. Para hadirin bertepuk tangan.
Sedang di rumahnya, Sisil menatapnya melalui layar televisi dengan rasa jijik.
Tak kurang dari sepuluh hari setelah acara di Ibu Kota, ia mendadak jadi orang kaya. Selain karena mendapat hadiah besar, segala benda yang berhubungan dengan kegiatan menulisnya pada zaman dahulu dibeli mahal oleh kolektor, mulai dari pena, kertas, buku-buku manuskrip, mesin ketik, kacamata, bahkan cangkir yang biasa ia pakai ngopi saat menulis.
Banyak wartawan yang datang meliput. Namanya kian tersohor. Hanya dua benda yang tidak ia jual; komputer tua dan lemari arsip. Ia tetap mempertahankannya meski ada yang berani menawar miliaran rupiah.
Sisil diam-diam mulai mengakui kehebatan ayahnya itu. Ia yang semula ingin melenyapkan komputer dan lemari arsip, kini berubah ingin memiliknya.
Pada suatu sore, di usianya yang semakin uzur, ia menyampaikan sebuah wasiat. “Mumpung umur masih ada, aku ingin membagi harta kekayaan pada kalian berdua. Ladang sepetak di sebelah rumah kuberikan kepada Sisil karena Sisil tak suka komputer dan lemari arsip. Biar komputer dan lemari arsip kuberikan kepada Dian,” ungkapnya sambil tersenyum.
Sisil tak bisa tersenyum karena sebenarnya ia kini menginginkan komputer dan lemari arsip yang jika dijual harganya sangat mahal. Sedang Dian juga terdiam seperti sedang mempertimbangkan sesuatu hal dalam kepalanya.
“Baiklah, Yah. Terima kasih atas pemberiannya. Saya tak akan menjual dua benda itu berapa pun harganya. Saya akan merawat benda-benda itu hingga akhir hayat sebab merawat benda itu adalah merawat ayah dengan cara yang lain, termasuk merawat semangat dan dedikasinya,” ucap Dian kemudian.
Ia tersenyum lebih segar lagi saat mendengar kata-kata Dian. Waktu seolah memberinya peluang untuk hidup lebih lama lagi, lebih semangat lagi, dan menulis lebih banyak lagi.
Gaptim, 2024
A. Warits Rovi, Lahir di Sumenep Madura 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai dan artikel dimuat di berbagai media antara lain: Kompas, Tempo, Jawa Pos, Horison, Media Indonesia, Republika, MAJAS, Sindo, Majalah Femina, dan lainnya.
.
Memenang
i
beberapa lomba karya tulis sastra.