*** Sehanto tersenyum. Dia adalah Ketua Karang Taruna Kecamatan Pasar Kliwon, Solo. Ingatannya melayang pada sebuah kunker fiktif Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Solo pada 2006 yang akhirnya mengantar mantan Kepala Disperindag, Masrin Hadi dan bawahannya, Abdul Mutholib ke jeruji penjara. Karena namanya terdaftar dalam 50 orang yang ikut perjalanan fiktif ke Surabaya untuk studi banding rencana pembuatan pusat jajanan malam-sekarang bernama Gladak Langen Bogan (Galabo)--Sehanto mengaku sempat resah. Apalagi ketika jaksa mulai memanggil satu per satu orang yang masuk daftar peserta kunker fiktif yang sebenarnya sama sekali tak tahu apa-apa. “Untungnya hanya satu orang dari perwakilan warga Pasar Kliwon yang dipanggil Kejari. Ya walau kami ini tidak salah tapi kalau harus berhadapan dengan penegak hukum tetap saja rasanya tak enak. Ternyata praktik seperti itu marak ya.” Sehanto kembali mengenang pengalamannya. Di sudut lain, di ruang kantor Pusat Telaah Informasi Regional (Pattiro) Solo, Andwi Joko tengah mencermati lembaran penjabaran APBD 2012. Menyaksikan angka-angka perjalanan dinas (perdin) eksekutif, uang transportasi plus uang akomodasi mampu membuat Joko geleng-geleng kepala. Total perdin yang tersebar di kurang lebih 80 instansi pada tahun ini mencapai Rp14,4 miliar. Ditambah dengan belanja transportasi dan akomodasi senilai Rp18,9 miliar, total biaya perjalanan PNS Kota Bengawan mencapai Rp33,3 miliar. Asumsinya apabila jumlah itu dibagi dengan 246 hari aktif di sepanjang tahun, belanja perjalanan dinas plus uang transportasi dan akomodasi PNS mencapai Rp135 juta lebih/hari. Coba bandingkan dengan dana hibah untuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) senilai Rp197 juta/tahun. “Dana perdin seharusnya dikurangi dalam rangka efisiensi. Kami melihat di tiap kegiatan hampir semuanya ditambah dengan uang transportasi dan perdin sehingga kadang tidak nyambung dengan kegiatannya. Beginilah kelemahan instansi tanpa standar pelayanan minimal (SPM). Tidak ada perencanaan, tidak ada tujuan pencapaian karena intinya dari tahun ke tahun yang penting ada anggaran perdin dan transportasi di tiap nomenklatur,” ujar Direktur Pattiro. Joko mengingatkan tentang rilis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) yang menyebutkan banyak kunker fiktif berdasarkan hasil uji petik Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di beberapa kementerian. “Kesimpulan kami, membuat kunker fiktif itu tidak susah. Tinggal minta tolong biro perjalanan, selesai sudah urusan. Itu semua memang terjadi di Jakarta, yang di Solo bagaimana saya kurang begitu tahu,” ujarnya. Terpisah, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPRD Solo, YF Sukasno, menegaskan pihaknya banyak melakukan efisiensi dalam anggaran 2012. Langkah tersebut dalam rangka menyesuaikan instruksi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk melakukan penghematan, salah satunya perdin. “Saya kira besarnya dana perdin karena memang harus menyesuaikan dengan kebutuhan. Tapi ya tidak bisalah kemudian dana itu dibagi per hari seolah-olah eksekutif pergi tiap hari. Lagi pula sepengetahuan saya tidak semua dana itu lantas habis. Selalu ada sisa di setiap akhir tahun,” jelas Kasno. Bagaimana dengan perencanaan kalau setiap tahun ada sisa, Kasno tidak menjawab jelas. “Ya mungkin ada acara yang batal sehingga tidak seluruhnya dipakai,” jawabnya. Disinggung kemungkinan perdin fiktif, lagi-lagi Kasno membantahnya. “Saya kira yang namanya perdin fiktif tidak akan terjadi di Kota Solo karena aturannya sangat ketat,” tandas dia. Untuk bisa melakukan perdin, Kasno menjelaskan, setiap instansi harus mengantongi izin dari Sekretaris Daerah (Sekda) terlebih dulu. Belum lagi di akhir perdin harus disiapkan pula bukti penerimaan tamu dari pejabat daerah yang menjadi tempat kunjungan. Tidak bisa main-main, imbuh dia. Mengenai kasus Masrin Hadi, Ketua DPRD itu juga punya jawaban. “Kalau kasus Pak Masrin Hadi itu kan hanya pindah lokasi kunker serta dana yang dihabiskan tidak sesuai dengan dana yang dianggarkan. Bukan kunker fiktif karena kunkernya sudah dilaksanakan,” ujarnya. Meski Ketua DPRD menyebut sisa anggaran namun keberadaannya justru disangsikan pengamat ekonomi dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Mulyanto. Penyebabnya, menurut dia, belanja perdin sifatnya lumpsum alias dibelanjakan sesuai indeks biaya kegiatan. Sebagai contoh apabila indeks biaya penginapan sebesar X rupiah maka sebesar itulah yang diterima masing-masing PNS entah itu dalam praktiknya ternyata lebih hemat sehingga menghasilkan sisa yang menjadi hak mereka.
Dapatkan akses tak terbatas
- Home
- Ekbis
- News
- Sport
- Solopos
- Regional
- Lifestyle
- Ekonomi
- Teknologi
- Dunia
- Otomotif
- Video
- Entertainment
- Foto
- Data
- Sekolah
- Kolom
- Koran Solopos
- Cek Fakta
- Index Berita
Part of Espos Indonesia
- Espos Plus
- Berita UNS
- Interaktif
- UKSW
- Kuis
- UIN Salatiga
- EMagz new
- Pilgub Jateng
- Contest
- Unwahas
- Radio
- UT Surakarta
- Corporate
- Pemkab Blora
- Pemkab Sukoharjo
PNS: Bersiasat dengan Pemadatan Acara
Senin, 28 Mei 2012 - 08:53 WIB
Is Ariyanto -
Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Berita Lainnya
Koran Solopos
Silahkan mendaftar untuk mengakses dan membaca Koran Solopos Edisi
Espos Plus adalah platform berita premium baru yang memberi Anda keunggulan menyeluruh untuk terus menjadi yang terdepan dalam berita Indonesia. Untuk mengakses konten eksklusif kami, Anda harus berlangganan.