Esposin, SOLO—Angin petang kering yang tajam kian terasa kering dan tajam setelah suara seorang perempuan menyusup lewat telepon dan tanpa basa-basi menikamkan rentetan kalimat yang bikin nyeri ulu hati. Menit berselang ia tergagap dan minta maaf.
“Aduh, maaf. Sungguh, tadi aku kira nomor bajingan itu,” kata dia.
Promosi Kisah Perempuan Hebat Agen BRILink Dorong Literasi Keuangan di Medan
“Ini nomor bajingan yang lain.”
Ia tertawa. Aih, suaranya! Kenapa sekonyong-konyong bisa berubah jadi menyenangkan? Saat marah-marah tadi, begitu saja terkonstruksi dalam benakku sosok perempuan matang, mungkin setengah tua tapi masih menyisakan garis-garis kecantikan, sukses dalam karier; sebangsa eksekutif kantoran atau boleh jadi orang lapangan yang memegang teguh sikap, pandangan, pemikiran, dan oleh sebab itu jadi cenderung sensitif dan keras kepala.
Mungkin ambisius dan pendendam juga. Dia tipikal Miranda Priestly, atau Norma Rae, atau Erin Brockovich, atau barangkali malah Nina Sayers.
Konstruksi-konstruksi ini sekarang roboh, bergeser ke dunia lain yang sedikit-banyak lebih meriah, lebih penuh warna, terkadang rumit dan bodoh, tapi tetap romantis.
Bayang para perempuan serbakeras lesap oleh kehadiran Sally Albright, Amelia Dolan, dan Elle Woods. Dalam sekelebatan muncul juga Bella Swan.
“Kalau aku boleh tahu, bajingan ini namanya siapa?”
Aku teringat dulu sekali pernah membaca artikel di satu majalah gaya hidup.
Redaksi kalimat persisnya aku lupa, tapi kurang lebih disebutkan begini: “apabila ada perempuan atau laki-laki, nyasar masuk ke nomor Anda, lantas setelah awal-awalan tak berguna lanjut menanyakan nama, maka dengan sendirinya dua macam kesimpulan dapat ditarik: (1) dia sekadar meneruskan percakapan tanpa faedah untuk kemudian menyegerakan mengakhirinya atau (2) melakukan pancingan, yang didasari keisengan untuk memulai satu koneksi lebih dalam”.
Perempuan ini sepertinya sedang memancing. Aku ingin tahu sehebat apa pancingannya.
“Maaf, Nona. Untuk seorang perempuan, bajingan pantang menyebut nama duluan.”
Ia tertawa lagi. Makin renyah. Makin membikin anganku melejit terlenting-lenting. Disebutkannya nama. Dalam hati langsung aku memaki. Separuh geram separuh geli. Apakah dia tidak bisa mengarang nama yang lebih meyakinkan?
Permainannya kuikuti. Kusebutkan namaku.
“John.”
“John siapa?”
“Lennon.”
“Wah, kok bisa kebetulan begini ya.”
Suaranya merasukiku. Sally Albright, Amelia Dolan, dan Elle Woods, mengabur, lantas lesap. Pun Bella Swan. Berganti wajah Yoko Ono. Wajahnya di kala muda tentu saja dengan tatap mata sayu dan rambut hitam panjangnya yang tergerai itu.
Percakapan kami berlanjut. Dia bicara begitu lancar, begitu lepas, seolah sudah mengenalku bertahun-tahun. Melompat dari satu topik ke topik lain. Tentang film, tentang parfum, tentang musik, juga novel-novel.
Dia agaknya suka berkhayal lebih. Realisme magis, hmmm… Gabriel Garcia Marquez, Jose Luis Borges, Toni Morrison, Salman Rushdie.
Dia juga mengaku suka Haruki Murakami dan Milan Kundera dan menyebut Unbearable Lightness of Being sebagai salah satu favoritnya sepanjang masa. Aku tahu novel ini. Pernah membacanya, tapi tak tuntas. Tomas, dokter gigi kelahiran Cekoslovakia, terjerat pesona Teresa, perempuan yang ia temui tanpa rencana di bar hotel.
Hubungan singkat menumbuhkan perasaan yang awalnya ia sangka sebagai cinta. Tomas mabuk kepayang dan merasa berbahagia sampai kemudian perasaan ini sekonyong-konyong berubah tatkala Teresa berdiri menjinjing koper di depan pintu apartemennya.
Tomas melihat koper itu sebagai beban hidup Teresa yang akan menjadi beban hidupnya pula. Maka saat itu juga ia berpikir kembali pada Sabrina, perempuan yang terus mengirim gelegak hasrat tanpa pernah sekali pun menyinggung soal cinta.
Namun kenapa dia menyinggung novel ini? Apakah dia sedang memperpanjang uluran mata kail? Dia terus mengoceh sampai tiba-tiba berbelok ke arah yang sebenarnya sejak tadi sudah kutunggu.
“Kalau aku ingin ketemu kamu, apa kira-kira kamu mau?”
Nah!
Janji pun disepakati. Lepas petang di hari berikutnya. Dia menyebut nama satu kafe yang segera mengerucutkan ingatanku pada bangunannya yang tua, jendela besar, kaca berwarna, dan langit-langit tinggi.
Kafe ini berdempetan dengan butik dan bakery yang menjual roti dan kue-kue warisan kompeni: ontbijtkoek, appelflappen, spekkoek, poffertjes, bossche bollen, kretenwegge, dan klapertart paling lezat dijual di sini.
Bilangnya lagi, dia akan mengenakan jeans belel, kaus merah ketat tanpa motif dan sepotong tenunan Timor Leste yang dililitkan di leher sebagai syal.
Rambutnya, kata dia, dipotong mengikut gaya Uma Thurman di Pulp Fiction. Lalu giliranku. Jeans, kaus hitam lengan pendek bergambar lidah Mick Jagger di bagian dada dan topi baseball putih liris hitam berlambang klub paling kondang di jagad MBL, New York Yankees.
Tentu saja dia tidak perlu tahu aku merencanakan kedatangan tak tepat waktu. Mungkin 15 menit di depan atau di belakang. Tentunya juga tak ada kaus Rolling Stone dan topi baseball. Walau pada dasarnya ini bukan perkara harapan, bahwa yang datang akan sebangsa Kiki Fatmala atau Sally Marcelina, film-film Warkop secara meyakinkan memang telah mengajarkan betapa kencan buta seringkali berujung kecewa dan aku merasa memang harus tetap berjaga-jaga.
*
Kafe ini tidak seberapa besar. Hanya memiliki delapan meja dengan masing-masing empat kursi. Di sudut ruangan terdapat meja bar berbentuk siku yang di depannya disusun berjajar enam kursi – masing-masing tiga di tiap sisinya. Di sudut lain ada panggung kecil.
“Hari ini tidak ada band, tak ada penyanyi, tapi bagi yang mau menyanyi kita sediakan alatnya,” kata seorang pramusaji padaku sembari menunjuk televisi berukuran besar dan perangkat karaoke yang ditempatkan di sisi kiri panggung. Dia berlalu setelah mencatat pesananku.
Persis 15 menit sebelum waktu janji bertemu. Apakah dia sudah datang? Kutebar pandangan ke sekeliling.
Baca Juga: Menunggu di Pasar Kramat
Di luar pramusaji tadi dan dua rekannya serta seorang lainnya di balik meja bar, ada juga lima perempuan yang duduk di empat meja. Dua perempuan duduk satu meja bersama dua laki-laki yang mungkin pasangan mereka; entah pacar entah suami, atau boleh jadi rekan kerja yang akrab.
Perempuan lain, berusia di atas setengah baya, duduk diapit dua bocah yang barangkali cucunya.
Perempuan keempat dan kelima sendirian saja. Yang seorang, tepat di depanku, berpenampilan semiformal; mengenakan celana panjang pleated abu-abu dan blazer berwarna senada tapi lebih gelap. Aku tidak tahu padanan macam apa yang dikenakan di balik blazer. Dia membelakangiku.
Perempuan yang seorang lagi duduk berselisih dua meja. Muda dan cantik. Kacamata berbingkai hitam tebal membuatnya tambah memesona. Dia mengenakan kaus kuning gading berpotongan ketat, dipadu cardigan dan jeans belel hitam yang sobek-sobek tetas di bagian paha hingga lutut. Di kepalanya bertengger fedora coklat.
Jeans belelnya pas, tapi warna kausnya berbeda. Tak ada juga tenunan Timor Leste yang dililitkan di leher sebagai syal. Rambutnya memang tidak tampak penuh lantaran tertutup fedora. Namun helai-helai yang menjuntai terang menunjukkan warna yang tidak sama dengan rambut Uma Thurman. Aksen highlight honey blonde justru membuat dia kelihatan lebih mirip Jennifer Lopez atau Shakira.
Berarti bukan dia? Belum tentu, bisa jadi dia. Seperti aku, dia pun barangkali sedang bersiasat. Namun melihat gelagatnya, gerak-gerik dan bahasa tubuhnya, aku jadi ragu.
Perempuan ini sama sekali tak menunjukkan kesan sedang menunggu sesuatu. Dia asyik mengetik di laptop. Sesekali terdengar suaranya bersenandung. Sesekali tertawa.
Menit berjalan telah lewat waktu janji bertemu. Di mana perempuan itu? Kenapa dia belum datang juga? Kemarin, sebelum menutup percakapan dia meninggalkan nomor kontak. Apakah aku harus menelponnya?
“Tadinya kukira aku tipikal perempuan yang bisa hidup bahagia sendirian. Bertahun perasaan ini aku bangun dan berkeras meyakininya sampai akhirnya kusadari itu keliru.”
Siapa yang bicara? Suaranya seperti datang dari jarak yang tidak jauh. Kulihat lagi sekeliling. Perempuan bertopi fedora masih mengetik di laptopnya. Sesekali bersenandung. Sesekali tertawa-tawa.
Di meja lain, dua pasang perempuan dan laki-laki juga masih bercakap-cakap. Mereka segera bisa dihapus dari daftar dugaan lantaran aku sama sekali tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.
Perempuan tua bersama dua bocah yang barangkali cucunya sudah tidak ada lagi. Meja yang tadi mereka tempati kosong, tapi persis di sebelahnya duduk empat laki-laki muda, mungkin anak sekolah tingkat akhir atau mahasiswa tahun pertama.
Mereka duduk berhadap-hadapan, namun saling diam dengan tatapan tak lepas pada layar ponsel. Jadi tak mungkin mereka. Lalu siapa?
“Kukira sekarang yang kuperlukan adalah cinta. Iya, benar, kau tidak salah dengar. Memang cinta. Lebih spesifik, cinta dari laki-laki yang juga kucintai. Jangan tertawa. Aku sungguh-sungguh. Aku ingin menikah dan punya anak.”
Nada yang meninggi membuat suara yang kedengaran berjarak itu makin dekat. Perempuan di depanku, yang duduk membelakangiku, menyentuhkan tangannya ke telinga. Dia mengenakan headset wireless, ternyata. Apakah dia yang bicara?
“Beristri? Siapa? O, maksudmu bagaimana jika laki-laki itu sudah beristri? Hahaha... Apakah aku harus peduli?”
Saat tawa terdengar seiring itu tampak bahunya terguncang-guncang. Tawanya begitu keras hingga memancing perhatian perempuan bertopi fedora yang segera meliriknya dengan sinis.
Namun agaknya dia tak peduli. Dia terus tertawa. Keras dan renyah sekali. Tiba-tiba kudukku meremang.
“Kau tahu Yoko Ono?” katanya setelah tawa mereda. Debar jantungku mengencang.
“Hei, hei, ngawur! Dari mana kau ambil kesimpulan seperti itu? Yoko Ono bukan perusak The Beatles. Paul McCartney saja yang kelewat curiga dan akhirnya termakan teori-teori konspirasi. Yoko Ono tak pernah ambil pusing pada The Beatles. Sama sekali tidak. Dia hanya mencintai John Lennon.”
Tawa yang keras dan renyah itu. Yoko Ono. John Lennon.
Anjing!
Apakah dia?
Aku masih menduga-duga, antara yakin tak yakin, saat dia, dengan gerakan ringan tapi anggun mengusap tengkuk, lalu menyisir rambut dengan jari-jari tangan, lalu perlahan menyibakkan ke arah atas untuk kemudian menyatukannya dengan penjepit.
Alahai!
Di bagian belakang lehernya, persis di atas tengkuk di bawah batas rambut, terukir tato wajah perempuan dengan senyum tipis dan rambut tergerai. Wajah Yoko Ono.
“Sudahlah, nanti kita lanjutkan. Sekarang aku harus menemui seseorang. Siapa? Laki-laki? Maksudmu? Tentu saja laki-laki! Sejauh ini aku masih belum tertarik pada perempuan. Bisa jadi nanti, tapi tidak sekarang. Tidak dalam waktu dekat. Apa? Apa? Kurang jelas. Hmmm… John Lennon? Apakah dia akan jadi John Lennon-ku? Hahaha.. Kita lihat saja nanti. Namun kukira aku tak akan buru-buru. Kukira aku akan jadi Sabrina dulu. Kau ingat Sabrina, kan? Kita pernah mendiskusikannya beberapa kali. Iya, Sabrina, Unbearable Lightness of Being. Juga Teresa. Perempuan-perempuan sialan. Hahaha.”
Anjing! Memang dia!
Sejurus itu ponselku berderik. Untunglah! Sebelum tiba di kafe tadi ponsel kualihkan ke program bisu.
Derik berhenti tapi berselang sekedipan mata berderik lagi. Masih tak kuangkat. Berhenti lagi, berderik lagi, begitu sampai barangkali sembilan atau sepuluh kali. Apakah dia berhenti? Ternyata tidak. Tak sampai hitungan menit menyusul derik tunggal yang lebih pendek. Dia mengirim pesan.
Hei, John... Kamu di mana?
Aku beranjak ke toilet. Belum penuh melewati pintu pesannya masuk lagi.
Kalau kamu anggap aku ingin jadi Teresa, kamu keliru.
Pesan demi pesan masuk susul-menyusul dengan cepat; pesan ketiga, keempat, kelima, di sela kontak-kontak. Aku tadi tak sempat melihat wajahnya, tapi bisa kubayangkan betapa saat ini dia sedang sangat kesal.
Kamu jadi datang atau tidak?
Yoko Ono... Sabrina... Teresa... Rasa-rasanya aku sudah mendapat gambaran lebih baik tentang dia. Masalahnya, aku tak tahu harus merasa beruntung atau sebaliknya.
Ketika aku kembali, dia memang sudah tak ada.
Medan, 2024