style
Langganan

Perayaan Tahun Baru Imlek, Perekat Persaudaraan - Espos Indonesia dari Solo untuk Indonesia

by Redaksi  - Espos.id Lifestyle  -  Senin, 15 Februari 2010 - 22:19 WIB

ESPOS.ID - More than just publish.

Sejak awal bulan Februari ini, Kota Solo memerah. Bukan karena maraknya atribut-atribut partai politik, melainkan lampion-lampion cantik berwarna merah yang terpasang mulai di teras rumah, kantor sampai pusat perbelanjaan. Terlebih, pada malam hari, eksotisme pancaran lampu yang terbungkus lampion kian menyemarakkan dan memberi ruh kemakmuran bagi sudut kota yang biasanya lengang.

Datangnya Tahun Baru Imlek 2561 memang disambut baik oleh warga keturunan China dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Akulturasi dan asimilasi budaya China dengan beragam budaya lokal di Indonesia mencuatkan gairah kebersamaan.

Advertisement

Menurut Sosiolog dari Universitas Atmajaya Yogyakarta, Andreas Susanto, akulturasi dan asimilasi yang terjadi tak lepas dari toleransi dan sikap akomodatif dari etnis yang dominan. Pasalnya, biasanya, dominasilah yang memiliki kekuasaan untuk bisa menentukan arah kebijakan. ”Jadi sebesar apapun usaha etnis minoritas beradaptasi dengan budaya dominan yang ada di tempat tinggal mereka, jika tidak ada toleransi dari budaya dominan tetap saja percuma,” ujarnya.

Lebih dari itu, bagi keturunan China, perayaan Tahun Baru Imlek adalah perekat persaudaraan antarketurunan China yang notabene begitu majemuk dalam berbagai dimensi. Dari sisi religi saja misalnya, keturunan China penganut Taoisme, Buddhisme dan Konfusianisme ataupun yang disebut sebagai samkau yang berarti “tiga ajaran” —dalam bahasa Mandarin disebut sanjio dan di Indonesia dikenal sebagai Tridarma— kini seolah membaur tanpa sekat saat merayakan Tahun Baru Imlek. Bagi sebagian kalangan keturunan China, ketiga ajaran berbeda itu memang dianggap telah bersinkretisme, sehingga seolah tak bisa lagi dikategorikan dalam tiga agama berbeda.

Itu pulalah sebabnya, pada kenyataannya kini, perayaan Tahun Baru Imlek terus berkembang sebagai sebuah perayaan tradisi. Bukan sekadar perayaan hari besar agama tertentu saja kendati dasar penetapan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional tak bisa dilepaskan dari statusnya sebgai hari besar agama. ”Selain mempererat umat Konghucu, Buddha dan Taoisme, makna penting perayaan Tahun baru Imlek juga lebih luas lagi terhadap persaudaraan lintas agama,” tutur pembesar rohaniawan Konghucu Solo, Haksu Thjie Tjay Ing.

Advertisement

Grebeg Sudiro Di Kota Solo Grebeg Sudiroprajan adalah salah satu ekspresi konkretnya. Sebuah perayaan menyambut Tahun Baru Imlek yang diawali dengan mengarak gunungan ribuan kue keranjang dari Kampung Sudiroprajan menuju Klenteng Pasar Gede. Acara itu memikat siapa saja untuk menyaksikan. Semakin fantastis, kirab gunungan kue keranjang juga dibumbui dengan beragam atraksi kesenian China dan Jawa. Kelincahan liong dan barongsai berpadu apik dengan gagahnya reog ponorogo maupun tari-tarian tradisional. Grebeg Sudiro memukau dan sekaligus menggambarkan kerukunan etnis dan umat beragama di Kampung Sudiroprajan maupun di Kota Solo pada umumnya.

Menurut Oesman Arif, haksu yang juga berprofesi sebagai dosen di Universitas Sebelasa Maret (UNS) Solo, urgensi perayaan Tahun Baru Imlek tetap harus dimaknai sebagai perayaan hari besar agama Konghucu. ”Walaupun, dalam kenyataannya memang semakin melibatkan masyarakat luas.”

Namun, menurut Oesman, itu memberikan semangat positif bagi keturunan China penganut agama Konghucu. Pasalnya, perayaan Imlek yang semakin melibatkan masyarakat membuat agama Konghucu lebih dikenal dan tidak dianggap ekslusif olah masyarakat.

Advertisement

Oleh: Intaningrum, Fetty Permatasari, Esmasari Widyaningtyas

Advertisement
Aksara Solopos - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif