style
Langganan

Menunggu Kabar Kakak - Espos Indonesia dari Solo untuk Indonesia

by Muhamad Pauji  - Espos.id Lifestyle  -  Minggu, 3 September 2023 - 10:18 WIB

ESPOS.ID - Ilustrasi Cerpen Kabar Kakak (Solopos/Istimewa)

Esposin, SOLO—Seharian dia marah-marah enggak karuan. Dia marah pada orang tuanya yang mengantarkannya ke dunia brengsek ini. Dunia yang dia nggap menyengsarakan ini. Mengutuk sana-mencibir sini.

Orang-orang bilang gemah ripah loh jinawi, tetapi apanya yang subur dan makmur? Rutan dan lapas penuh sesak dihuni ribuan napi. Bukankah semestinya rutan dan lapas itu hanya menampung beberapa ratus narapidana? Belum lagi keberadaan pembegal, penjambret, penjahat kambuhan, dan buronan DPO yang belum tertangkap. Kenapa mereka masih berkeliaran di mana-mana?

Advertisement

Kekesalan Sania bermula dari janji kakaknya, Jamilah, yang menikah dengan Yosef, orang Katolik, dan sekarang mereka tinggal di Singapura. Dulu, kakaknya pernah berjanji pernikahannya dengan orang Kristen hanya demi keluarganya. Itu artinya demi kesejahteraan Sania juga.

Kakaknya pernah bilang akan mempersiapkan dokumen-dokumen supaya Sania bisa menyusul ke Singapura. Tetapi, sudah berbulan-bulan lewat, tak ada buktinya. Tak ada kabar-kaburnya. Omong kosong. Sompret doang!

Sebenarnya, ia percaya pada kakaknya itu. Sekarang sudah memasuki bulan kelima. Betapa penantian sepanjang bulan-bulan itu begitu menyiksa batin Sania. Dia di dalam ruang dan waktu yang menjemukan, membosankan, dan menyebalkan.

Advertisement

Sania merasa jengkel melihat ibunya pulang ke rumah membawa sebakul cucian serta kue-kue yang melempem kedaluwarsa pemberian majikannya. Ia jengah melihat bapaknya nongkrong sambil mengisap rokok kretek, menunggu warung di depan rumah, melayani pelanggan yang hanya membeli sebatang rokok. Sementara, bapak sendiri sudah menghabiskan berbungkus-bungkus sambil menyaksikan acara-acara kuis berhadiah miliaran rupiah di layar televisi.

Kadang Sania ikut menunggu warung, berharap ada orang yang memborong atau membeli lebih dan membayarnya dengan uang lima puluh atau ratusan ribu rupiah tanpa kembalian. Tetapi, setelah pandemi ini, orang-orang membeli sekadar keperluan hari itu. Itu pun membayarnya pakai uang receh yang kadang lusuh dan lecek seperti tampang dan raut mukanya.

Pada saat menunggu warung, Sania mengamati orang-orang yang melintas di jalanan. Kadang Bi Marfuah mampir untuk membeli sebungkus micin, tapi mulutnya yang selalu menyebarkan gosip membuatnya betah di warung sampai berjam-jam. Orang-orang sekampung tak ada yang bisa menyelamatkan diri dari umpatannya. Tanpa membutuhkan media sosial, baik luring maupun daring, semua kabar-kabur dari ujung Desa Jombang Cemara hingga Jombang Wetan tak ada yang luput dari gunjingannya.

Dari mulut Bi Marfuah, Sania mendengar kabar perihal Tohir yang terlibat baku-hantam dengan orang Madura. Dari dia juga, Sania mendengar berita kehamilan Mpok Jumi oleh majikannya yang anggota dewan itu. Dan dari siapa lagi kalau bukan dari Bi Marjuah yang mengembuskan isu ratusan ibu pengajian menyantap ransum yang mengandung daging babi. Lalu Bi Marjuah lah yang juga menyebarkan berita tentang padamnya listrik sekecamatan gara-gara para penggali kabel sibuk berebut lele jumbo di sekitar kubang penggalian PLN.

Advertisement

Sambil menunggu warung, Sania mengamati para tukang parkir liar, terutama Bang Toyib yang selalu memangkal dan meminta uang dari setiap kendaraan yang lewat. Pemuda urakan itu selalu saja bikin ulah di mana-mana.

Dia tak peduli orang-orang menyanjung atau mencaci-maki dirinya. Hobinya paling utama adalah menggoda para gadis yang lewat dengan pakaian serbaketat, bahkan juga ibu kampung yang berpakaian nyaris setengah telanjang. Suara musik dangdut yang dilantunkan Poppy Ratnasari, seorang artis lokal, membahana dari radio yang disetel Bang Toyib di lapangan parkir.

Kelakuan Bang Toyib yang akrab dipanggil Sania dengan sebutan “Si Gendeng” seakan mencetuskan rasa lapar yang kemaruk bila mendengar musik dangdut yang dilantunkan Poppy. Apalagi saat dia mendengar lirik: “Menyentuhmu… memelukmu… menciummu… dengan sepenuh hati….”

"Pret!” kata Sania ketus. Sambil mendengar lagu dangdut dengan mata merem-melek, kedua tangan Bang Toyib tak pernah tinggal diam. Ia selalu saja menyambar pantat montok para ibu yang lewat, terlebih para gadis yang berpakaian ketat. Tak peduli mereka pulang sekolah, berbelanja di minimarket, atau pulang pengajian sekali pun. Ia mengenal satu per satu ibu-ibu genit dan centil yang apabila bokongnya disambar, dia akan memukul dan mencubit lengan Bang Toyib. Bagi Bang Toyib cubitan itu justru semakin menambah gairah kemesraan.

Advertisement

Ada juga seorang ibu yang dadanya besar membusung ke depan. Bang Toyib tak peduli apakah besarnya itu lantaran bengkak ataukah tumor. Tubuh Bang Toyib serasa menggelenyar ketika melihat penampilan ibu yang satu itu. Dalam dirinya terangsang nafsu yang buas dan primitif. Tatapannya nanar dan garang, mulutnya mengeluarkan air liur yang serakah dan tamak.

Si ibu sengaja mengenakan baju yang transparan hingga tonjolan daging dan lemak di sekitar dadanya begitu kentara. Jalannya berlenggang-lenggok, gerakan bokongnya terangkat dan berguncang begitu mesum.

Sesekali Bang Toyib menyesap kopi hitam yang dipesan dari warung Pak Salim. Saat-saat ketika para ibu pulang dari pengajian dan melintasi lapangan parkir adalah saat indah yang dia nantikan. Tidak ada dalam kamusnya istilah pelecehan seksual. Ketika ia menonton siaran TV yang menampilkan para pakar berbicara perihal pelecehan seksual, Bang Toyib akan senyum-senyum dikulum dan berseloroh seenaknya, “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.”

Sania juga pernah memergoki Haji Mahmud sedang menggoda gadis-gadis centil di depan warungnya. Ketika istrinya, Bi Siti, mendengar kabar itu dari Bi Marfuah, kontan ia menghajar suaminya dengan selop yang haknya terbuat dari kayu.

Advertisement

Haji Mahmud yang ustaz itu membela diri mati-matian bahwa ia hanya memegang pinggul sang gadis, bukan mengelus-elus bokongnya. Meskipun di hadapan teman-temannya, Haji Mahmud punya dalih tersendiri bahwa Adam saja bisa dikeluarkan dari surga gara-gara menggoda Hawa. “Apalagi kita-kita yang bukan nabi,” cetusnya lantang.

Sania juga merasa iri dan dongkol ketika menyaksikan para gadis sepantarannya yang biasanya membeli sabun mandi, sampo, dan sesekali pembalut. Mereka masih muda-muda, tapi sudah pada punya pacar bermotor, bahkan bermobil. Dandanan mereka menor dan seronok, menenteng ponsel-ponsel bermerek pemberian pacar-pacar mereka.

Ada juga seorang temannya yang sering diajak pacarnya ke apartemen mewah di Jakarta. Dalam bayangannya, mendengar kata apartemen seakan menggambarkan bangunan megah yang indah semerbak mewangi. Tidak kayak di rumahnya yang bau apek dan pesing, kamar mandi berbau jengkol bekas kencing bapaknya, ditambah lagi asap rokok berikut abunya yang berceceran. Semua itu membuat perut Sania mual dan muntah-muntah.

Baca Juga: Hujan Batu di Kepala

Ia teringat beberapa bulan lalu ketika kakaknya Jamilah menyatakan keinginannya menikah dengan Yosef. Bapaknya tiba-tiba bangkit dan bersejingkat dari tempat duduk. Sang bapak berdiri tegak dan bertolak-pinggang. Seketika itu dia mengumbar amarahnya, mencaci-maki, mengutuk, melontarkan sumpah-serapah. Intinya kakaknya tidak akan diakui lagi sebagai anak jika coba-coba menikah dengan nonmuslim.

Seperangkat dalil diumbar habis-habisan, baik dari Al-Qur’an maupun hadis Nabi. Bapak bicara tentang halal-haram, sunah-makruh, juga bicara tentang ancaman Tuhan dan api neraka bagi orang-orang kafir, sesat, murtad, dan segala tetek-bengek lainnya.

Advertisement

Ibunya tak kalah galak. Dia mencak-mencak tak keruan. Meracau tak ada habis-habisnya, menyingkap kilas-balik masa lalu saat bersusah-payah melahirkan sang anak. Beruntung dia tidak lahir di negeri Arab pada zaman jahiliyah dulu ketika anak-anak bayi perempuan dikubur hidup-hidup.

Namun, segala himpunan dan bunga rampai kemarahan tiba-tiba berubah dalam sekejap. Sebagaimana daun-daun kering yang berjatuhan terempas sepoinya angin. Itu terjadi manakala suami Jamilah mengganti perabot rumah yang sudah tua serta dihuni tikus, kecoa, dan generasi ke sekian dari anak-cucu laba-laba. Sekarang alhamdulillah wasyukru lillah, semuanya sudah diganti dengan yang serbabaru.

Si bapak memakai selop dan sarung baru untuk pergi ke masjid, bukan lagi kopiah dekil yang warnanya sudah kelabu dan kemerah-merahan. Sesekali si bapak mencoba rokok mahal bermerek lalu memperkenalkannya kepada teman-teman ngeriung dan tahlilan. Awalnya bapak batuk-batuk saat mencoba rokok itu di sela-sela pembacaan surat Yasin.

Ibunya juga begitu. Dengan bangga mengenakan kerudung berenda-renda, yang membuat ibu-ibu pengajian merubung ketika mendapat kabar bahwa kerudung itu adalah kiriman dari Singapura. Tetapi bagi Nyi Hindun, yang paham kualitas bahan pakaian, kerudung itu adalah barang eksportir Indonesia yang sesampainya di Singapura kemudian dipasarkan dan dibeli lagi oleh Jamilah yang orang Indonesia.

Sembari menyandarkan punggungnya pada saat ngeriung bersama ustaz-ustaz NU, si bapak tak segan-segan menyebut-nyebut anaknya, seraya mengutip dalil bahwa orang tua yang memiliki anak perempuan adalah orang tua yang berharta. Ibunya juga begitu. Ketika kumpul-kumpul memasak di dapur umum untuk acara pengajian di Masjid Darul Muttaqin, ia kerap menggulung lengan baju untuk memamerkan cincin dan gelangnya. Bola mata ibu-ibu lainnya nyaris mencelat seperti bola pingpong akibat terpantul nyala kuning perhiasan yang memesona dan menakjubkan.

Lalu, mau sampai kapan mereka mengumbar amarah dan kedengkian pada pernikahan Jamilah dan Yosef? Kakaknya itu hanya menikah dengan orang Katolik, bukan tokoh-tokoh penjahat atau residivis yang tergambar dalam film-film Amerika. Ia juga tidak seperti yang digambarkan neneknya, bahwa orang-orang Kristen itu identik dengan bule penjajah yang akan menculik dan memboyong kakaknya ke  Belanda, yang identik dengan negeri orang-orang kafir.

Tentu saja orang semacam Sania tidak serta-merta percaya pada retorika kuno dan tradisional itu. Ia akan menggunakan logika zaman dalam menghadapi persoalan kakaknya. Ia mulai membacakan ayat dan hadis Nabi yang dipilah-pilah hingga kata-katanya dianggap logis bahwa pernikahan kakaknya adalah lumrah dan wajar saja.

Para tetangga yang awalnya sibuk bergosip pada akhirnya garuk-garuk kepala dan menelan ludah sendiri. Ngapain juga sibuk mikirin kepala orang lain (pikir Sania) pada saat kepalanya sendiri penuh ketombe dan ramai anak-cucu kutu-kutu.

Keesokan paginya, Sania melompat dari tempat tidur dan langsung menuju pintu depan setelah ada yang mengetuk. Namun, yang nongol di depan mata adalah laki-laki sepantarannya yang dalam minggu-minggu ini selalu mengincar dan mengejar-ngejar dirinya.

Rambutnya panjang tersisir rapi. Gerak-gerik dan gayanya mencerminkan khas pemuda kampung yang perlente, tetapi norak, dan penuh basa-basi. Dalam pandangan Sania, semua pemuda di kampungnya sama saja. Pikirannya dangkal, tetapi kerjaannya beranak-pinak seperti tikus dan kecoa. Yang mereka pentingkan hanya kejayaan menyilaukan atas keluarga dan leluhur. Mereka tak pernah mau melepaskan tongkat estafet manakala belum berhasil dilumpuhkan oleh kekuatan musuh paling kuat dan paling perkasa, yakni perempuan.

Ketika lelaki itu pergi, Sania masuk rumah dan menuju kamar mandi. Di dalam kamar mandi, kembali ia mencium bau asap rokok, menyiram bekas air kencing bapaknya yang bau jengkol, melontarkan sumpah-serapah pada sang bapak, pada keluarga dan saudaranya, dan pada semua laki-laki di seluruh dunia. (*)

 

Advertisement
Ayu Prawitasari - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif