Di kota yang lumayan padat seperti Solo, hotel dan mal lebih gampang ditemukan dari pada perpustakaan. Kalau pun ada yang memadai, letaknya ada di dalam kampus perguruan tinggi.
Saking sulitnya menemukan perpustakaan, Michael Mrowka sempat terheran-heran. Delapan tahun lalu saat pertama kali menginjakkan kaki di Solo, laki-laki asal Amerika Serikat ini sampai kebingungan mencari di manakah ada perpustakaan di sekitar Solo. “Saya tanya di manakah ada perpustakaan di sini, semuanya menggeleng,” ujar Michael dalam Bahasa Inggris, Rabu (4/7) lalu.
Maklum di kota asalnya, Ohio, situasinya sungguh berbeda. “Di Amerika itu setiap kota kecil pasti ada perpustakaan besar dengan 200.000 buku,” katanya.
Bahkan di rumahnya sendiri, Michael punya perpustakaan pribadi. “Kota saya penduduknya ada 40.000 orang dan perpustakaannya memiliki 241.000 buku. Dan saat saya di sini, i’m shocked.”
Kaget bercampur prihatin, itulah yang membuatnya berpikir untuk segera membuat perpustakaan sebagai sumbangannya kepada masyarakat lokal. Awalnya kedatangannya ke Soloraya adalah mencari produk-produk batik yang akan diimpor oleh Robert Kaufman, perusahaan yang bekerja sama dengan Michael. Selama bertahun-tahun pula dia mengirim batik-batik asal Solo dan Sukoharjo ke negaranya dan mendatangkan keuntungan besar.
Sadar bahwa aktivitas bisnisnya mendatangkan keuntungan bagi perusahaannya, Michael tidak menutup mata dengan kondisi masyarakat lokal, khususnya keluarga para perajin batik. Dia melihat ada yang harus dilakukannya untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Saat itulah teringat bahwa di masyarakat Soloraya masih minim akses terhadap buku. “Saya harus memberi sesuatu kembali untuk mereka. Tidak dengan memberi uang langsung pada mereka, tapi dengan buku,” tuturnya.
Di awal-awal kedatangannya ke Indonesia, Michael dan Debra Lunn, istrinya, membawa banyak buku untuk dibagi-bagikan secara gratis kepada para karyawan batik. Mereka pun juga menyumbangkan buku-buku mereka pada yayasan sosial.
Langkah itu berlanjut dengan pembangunan sebuah perpustakaan untuk keluarga para karyawan pabrik batik di Solo dan Sukoharjo. Upaya ini mendapat dukungan dari H Muhammad Nurudin, seorang pengusaha batik, yang mengizinkan salah satu bangunannya dipakai sebagai ruang perpustakaan. Bangunan yang berlokasi di Jl Songgolangit No 30, Gentan, Baki, Sukoharjo itu di bawahnya menjadi tempat cuci mobil dan perpustakaan menempati lantai dua.
“Bantuan ini bukan seluruhnya dari saya, tapi juga dari istri, anak perempuan saya, perusahaan dan orang-orang tanpa nama,” katanya.
Banyak pihak di Amerika yang kini ikut menyumbang bagi pengembangan perpustakaan ini. Ini tidak lepas dari upaya Michael dan istrinya untuk menghimpun bantuan di negaranya. Michael sendiri menceritakan program pembangunan perpustakaannya ini melalui artikel di majalah Qualtlife yang terbit di negara itu. “Di sana saya menulis ‘please help’ agar orang-orang mau membantu.”
Michael memang hanya mengandalkan bantuan dari individu dan swasta, bukan pemerintah. Selama beberapa tahun sejak berdirinya perpustakaan, dia tidak pernah meminta bantuan pemerintah lokal. Namun menurutnya ada respons positif dari Pemerintah Kota Solo yang dulu sempat menawarkan bantuan tempat. “Jokowi dulu pernah menawarkan gedung untuk dipakai perpustakaan. Memang kalau ini saja jauh dari cukup. Nanti kemungkinan kami akan bangun perpustakaan lagi di Laweyan,”