style
Langganan

Memento Mori - Espos Indonesia dari Solo untuk Indonesia

by Mashdar Zainal  - Espos.id Lifestyle  -  Sabtu, 10 Agustus 2024 - 09:21 WIB

ESPOS.ID - Ilustrasi Cerpen Memento Mori (Solopos/Istimewa)

Esposin, SOLO—Saat usiamu menapak enam puluh tahun, kau seperti mendapat sebuah pencerahan. Bahwa segala sesuatu yang penting di dunia ini seharusnya kau tulis. Bahwa semenjak kau mengenal nama-nama huruf, bersentuhan dengan buku-buku, berpuluh-puluh tahun silam, seharusnya kau mulai menulis.

Selain begitu rapuh, ingatan manusia tidak akan cukup menampung setiap pertistiwa yang terjadi. Tidak akan cukup.

Advertisement

Pencerahan itu datang ketika kerinduanmu pada bocah itu membuncah. Terkadang kerinduan membawa seseorang menuju jalan yang jauh dan memutar untuk sampai pada sebuah pencerahan. Namun kau tahu, selama hayat dikandung badan, tak ada yang benar-benar terlambat.

Sebagai lulusan SMA, kau bisa membaca dan menulis dengan baik. Namun, rasanya otakmu terlalu kecil dan umurmu terlampau uzur untuk memahami perkembangan dunia dan teknologi pengetahuan yang begitu pesat lagi rumit.

Meski demikian, kau sudah lama mendengar, ada sebuah dunia baru di luar sana. Dunia baru yang konon bisa digenggam manusia. Dunia baru yang banyak dihuni anak-anak muda. Dunia yang melampaui ruang dan waktu. Sebuah dunia yang tak benar-benar nyata: maya.

Kau bertanya-tanya, bagaimana hidup di dunia semacam itu?

Semula, kau merasa tak perlu memahami banyak hal atau mempelajari hal-hal baru. Segala pengetahuan yang kau miliki biarlah tetap sama dan itu akan tetap baik-baik saja.

Namun, ketika kerinduan pada bocah itu muncul, mendadak kau tertarik mengunjungi dunia anak muda. Dunia yang barangkali pernah dihuni bocah itu. Kau bertanya-tanya, apakah ia atau jejak-jejaknya masih ada di dunia itu?

Lantas, kau meminta keponakanmu mengajarimu cara memasuki dunia baru itu. Sign in dan Sign in. Log in dan log in. Dan di sana, di sebuah laman pencarian, keponakanmu menunjukkan akun itu.

Advertisement

Lihatlah! Kau menemukan bocah itu masih hidup di sana. Ada fotonya, foto yang sama dengan yang kau pajang di dinding kamarnya. Foto itu diambil saat kelulusan SMA. Rasanya, bocah itu seperti benar-benar hadir di sini.

Jemarimu menggulir. Keponakanmu menyebutnya beranda. Di sana, penuh dengan nama-nama, foto-foto, serta ucapan belasungkawa. Satu dekade silam. Di dunia ini, rasanya segalanya jadi abadi.

Jemarimu mencoba menggulir lagi dan lagi, semakin ke bawah. Dan tanganmu lekas gemetar ketika pada sebuah lini masa, kau menemukan catatan itu. Tertulis titi mangsa: 12 Maret 2012.

Kau membaca perlahan dengan dada hangat berdenyar-denyar.

***

Perihal bocah itu, isi kepalamu menyediakan ruang yang begitu istimewa lagi lapang. Kau mengingat dengan baik bagaimana detail perasaanmu ketika kau mengandungnya.

Baca Juga: Kehormatan Seorang Sastrawan

Advertisement

Sembilan bulan dua puluh hari lalu bocah itu lahir dengan bobot 3.5 kilogram. Bayi merah yang manis. Begitu mungil. Kau selalu memandangi wajahnya dari dekat.

Matanya yang kelewat jernih mengerjap lemah dan lidahnya menjilat-jilat bibir. Mungkin ia haus. Kau menyusuinya dengan limpahan kasih.

Sambil memandangi wajah mungil itu, suara-suara dalam kepalamu bergumam, betapa ia sangat berarti. Betapa hidupmu bakal berubah. Betapa kau mengasihinya. Mulai saat ini kau berjanji dan harus melihat bocah itu tumbuh serta bahagia.

Untuk itu, kau akan melakukan segalanya. Kau seperti melihat sebuah perjalanan panjang. Mungkin di sana ada batu-batu terjal dan jurang. Kau yakin bisa melewati semua dengan riang. Bahkan menyerahkan nyawa sekalipun tak tampak sebagai sesuatu yang tak meragukan.

Kau sangat yakin yang sedang bekerja dalam dirimu adalah cinta, bukan lainnya.

Waktu datang seperti udara yang tiap hari menyentuh kulit, namun tak pernah benar-benar diperhitungan. Sebuah wujud kasih Tuhan yang begitu lumrah hingga seolah-olah manusia tak perlu berterima kasih untuk itu.

Kelak, kau akan menyadari bahwa hal-hal kecil dalam hidup benar-benar harus dihisab dan mendapatkan haknya.

Advertisement

Bocah itu terus tumbuh dan membengkak. Kasihmu padanya tidak bergeser sesenti pun, semurni ketika ia bayi dan kau susui. Saat bocah itu menapak 13 tahun, tinggi badannya telah melampauimu.

Kau semakin kagum betapa yang kecil jadi tumbuh dan yang tumbuh jadi kisut, macam dirimu. Saat bocah itu terus tumbuh, kau sadar, kau pun beranjak renta.

Saat bocah itu lulus SMA dan kemudian pergi untuk menimba ilmu di luar kota, kau merasa tubuhmu dibelah jadi dua. Sakit sekali. Luka berpuluh-puluh tahun silam itu kembali, saat ayah bocah itu pulang dari tempat kerja dan hanya membawa nama.

Orang bilang, lelaki itu mengeluh pusing di tempat kerja, lalu mengambil sedikit waktu untuk berbaring dan tak pernah bangun lagi. Semudah itu ia pergi. Ketika itu, ia baru berumur tiga bulan dalam perutmu dan matamu bengkak sebab menangis.

Namun, kau merasa sangat beruntung, bocah dalam perutmu membawa penawar yang mujarab. Dan kau sembuh dari luka itu dalam waktu singkat.

Ingatan itu seperti baru kemarin. Bocah tampan itu melambaikan tangan dari kabin sebuah bus antarprovinsi. Pada hari itu, kau menangis di dapur, di kamar tidur, di ruang depan, dan di segala tempat. Kau dihantui cemas, apakah bocah itu akan baik-baik saja di luar sana? Siapa yang akan membelanya dan melindunginya di luar sana? Bagimana kalau seseorang menyakitinya?

Kecemasan itu mempermainkan pikiranmu sepanjang waktu sampai bocah itu berkabar bahwa ia baik-baik saja dan akan selalu begitu.

Advertisement

Lambat laun kau mulai terbiasa dan mencoba sadar bahwa bocah itu telah tumbuh menjadi perjaka. Bocah itu akan terus tumbuh lalu menemukan tambatan hatinya. Bocah itu akan memberimu menantu dan seorang cucu. Bocah itu tak akan manjadi milikmu lagi. Bocah itu akan menjadi miliknya sendiri.

Sejauh ini, kau tak cemas lagi. Sebab, begitu banyak kecemasan yang kau tanam tak pernah terbukti. Tuhan menjaga bocah itu dan akan selalu begitu. Sampai hari itu. Sampai hari itu. Sampai hari itu.

Sabtu pagi ia selalu menelponmu, namun pagi itu sepi. Sebuah telepon datang sangat terlambat, hampir malam. Sebuah suara memberi warta, sebuah kecelakaan, bocah itu tak terselamatkan. Rasanya, duniamu baru saja selesai.

***

Sabtu pagi seharusnya kau menelepon ibumu, namun kau menundanya. Kau malah pergi ke warung Internet. Ada kata-kata yang meluber dalam kepalamu dan harus segera kau tuang.

Kau membuka akun media sosialmu dan menuliskan sebuah catatan pendek yang tak benar-benar pendek:

Ketika seseorang merindukan kampung halaman, sejatinya ia tidak merindukan kampung halaman sebab kampung halaman hanya sebuah ruang dan sebuah ruang hanyalah jasad dan jasad sangat mungkin berubah atau hilang. Maka, ketika seseorang merindukan kampung halaman, sejatinya ia hanya merindukan waktu yang berlalu.

Advertisement

Perasaan semacam itu kerap mendatangi manusia serupa rasa haus. Dan ingatan-ingatan memberinya minum. Namun, rasa haus itu tak akan pernah hilang sebab ingatan manusia adalah sesuatu yang semu dan terbatas.

Sebuah bukti empiris, kini aku beranjak dewasa dan ibuku mulai menua. Bentuk kami berubah. Sebab kami hanya jasad. Seperti juga kampung halaman. Banyak sekali yang berubah di sana, jalan-jalan, rumah-rumah, pohon-pohon, orang-orang yang datang dan pergi, anak-anak manusia yang lahir dan mati. Bentuk dan jasad utuh yang tak berubah hanya ada dan bertahan dalam ingatan manusia. Ingatan yang begitu rapuh dan tak pernah mampu  menampung segalanya. Ingatan yang akan segera hilang saat manusia menua dan kemudian masuk ke liang lahad.

Namun, ada sebuah keajaiban dalam peradaban manusia. Sebuah keajaiban yang akan menyelamatkan isi kepala manusia sampai pada waktu yang tak terbatas. Sesuatu yang melampaui jasad, ingatan, dan bahkan waktu. Sesuatu itu bernama: tulisan. Sebuah tulisan akan bertahan hingga Tuhan sendiri yang menghendakinya hilang.

Bulan lalu, aku tak sengaja membaca sebuah buku tua di perpustakaan, di dalamnya, aku menemukan sebuah frasa berbahasa latin beserta kisah dan paparan panjang di dalamnya.

Sejak saat itu aku menyadari, bahwa segala hal yang penting dalam hidupku harus kutulis. Tentang ibu, tentang waktu, tentang kampung halaman, tentang sejarah ayah, dan tentang banyak hal.

Lihatlah. Hari ini aku melakukannya. Tak membutuhkan waktu lama. Aku bekerja untuk keajaiban. Dan keajaiban bekerja untukku. Kami bahu-membahu agar abadi sebab memento mori.

Jika berpuluh-uluh tahun kemudian aku dan kau membaca tulisan ini dan aku sudah menua lalu jasadku dikuburkan maka sejatinya aku tidak benar-benar pergi, tidak pula hilang.

Advertisement

Pada tulisan ini kau bisa merasakan apa yang kurasakan detik ini. Aku dan kau bisa sama-sama merasakan detak jantungku yang berpacu, gerakan jari- jemariku yang terus mengetuk mengkristalkan kejaiban, aliran darah yang berdenyut di nadiku dan hiruk-pikuk di luar sana, detik ini. Riuh dan tak bisa kudeskripsikan secara utuh. Namun, aku di sini.

Inilah aku. Aku yang kau baca. Aku yang tak akan pergi semudah itu. Aku yang mendekam di sini bersamamu.

Senin, 12 Maret 2012

***

Kau tak bisa menahan air matamu. Sampai detik ini, bocah itu masih menjadi keajaiban yang utuh bagimu. Tak pernah benar-benar pergi. Dan kini, di dunia baru ini, ia mengajakmu berbincang.

Pada saat itulah kau merasa mendapat sebuah pencerahan. Memento mori. Sebuah keniscayaan. Dan selama hayat masih dikandung badan, tak ada yang benar-benar terlambat. Tak ada. ***

Ngijo, 2023

 

Mashdar Zainal lahir di Madiun 15 April 1984, suka membaca dan menulis puisi serta prosa. Kini bermukim di Malang Jawa Timur. Ia sudah menerbitkan beberapa buku. Tulisannya tersiar di beberapa media cetak maupun daring. Bisa disapa lewat Facebook atau Instagram: Mashdar Zainal.

 

 

 

Advertisement
Ayu Prawitasari - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif