Dengan penolakan Pemprov melepas tanah Maliyawan, Budi menambahkan, secara otomatis Pemkot tak bisa mengelola Hotel Maliyawan. Oleh sebab itulah harusnya ada penghapusan aset atas bangunan Hotel Maliyawan. “Sampai saat ini kami masih menunggu permit Dewan untuk penghapusan aset itu,” ujar Budi.
Promosi Lestarikan Warisan Nusantara, BRI Dukung Event Jelajah Kuliner Indonesia 2024
Mengenai tudingan Budi kepada Pemprov yang diduga bermain dalam jual beli Maliyawan menurutnya logis. Sebab, yang punya wewenang atas tanah Maliyawan adalah Pemprov sementara Pemkot hanya berstatus sebagai penyewa. “Pemkot bersih. Tidak pernah sama sekali ada lobi-lobi antara kami dengan Pak Lukminto. Jadi soal jual beli kami sama sekali tidak tahu,” tegasnya.
Lebih lanjut mengenai perubahan sikapnya atas tanah Maliyawan dalam satu tahun anggaran, Budi mengatakan karena lebih mengutamakan kepentingan masyarakat. “Ada kebutuhan kesehatan, ada kebutuhan pendidikan. Bagaimana bisa dana kemudian untuk beli hotel. Apalagi setelah kami telaah Hotel Maliyawan juga tidak memberikan banyak keuntungan. Selama ini seperti yang selalu saya sampaikan kepada DPRD, biaya operasional Maliyawan lebih besar daripada keuntungan yang diperoleh. Jadi lebih baik dilepas saja,” ujarnya.
Sementara itu anggota Komisi C DPRD Jateng, Kafid Sirotudin saat ditanya mengenai tanah Hotel Maliyawan menjawab masih di bawah kepemilikan PD CMJT. “Tanah Maliyawan adalah aset yang dipisahkan. Sampai saat ini berdasarkan laporan terakhir yang kami terima, tanah Maliyawan masih dikuasai PD CMJT. Soal tanah akan dijual atau disewakan, kami serahkan sepenuhnya kepada PD CMJT karena merekalah yang bisa menilai langkah-langkah mana yang bisa menguntungkan PAD Provinsi Jateng dan mana yang tidak,” terangnya.
Terkait status bangunan Maliyawan yang hingga saat ini masih dalam tarik ulur antara DPRD dengan Pemkot dalam hal pelepasan, menurut keterangan kontraktor yang bertanggungjawab pada 2001 lalu, Widodo benar-benar milik Pemkot. “Sebelum ini memang ada staf Pemkot Solo yang meragukan status bangunan hotel. Staf itu kemudian menelepon saya dan bertanya tentang Maliyawan. Saya jawab hotel itu memang milik Pemkot karena dibangun dengan APBD, kurang lebih 10 tahun lalu. Namun sayangnya dokumen-dokumen sudah hilang semua. Sebatas itu yang saya tahu dan itupun sudah saya sampaikan kepada Pemkot semua,” tegas Widodo.