“Mungkin ini karena DPRD terbiasa patuh. Terbiasa menuruti kemauan Pemkot. Jadi saya merasa kadang institusi ini tidak dianggap. Bayangkan, bagaimana bisa permit belum keluar tapi tanah Maliyawan sudah berpindah tangan. Artinya kan Pemkot sangat percaya diri akan mendapat permit dari kami sehingga tanpa pikir panjang langsung melepas Maliyawan,” tandasnya.
Promosi Dukung Perkembangan Industri Kreatif, BRI Gelar Kompetisi Creator Fest 2024
Disinggung mengenai bantahan Sekda dan sekaligus tudingannya yang mengarah kepada Pemprov Jateng, kening Umar berkerut. “Aneh,” ujarnya.
Umar menuturkan posisi Sekda selaku wakil Pemkot adalah posisi yang sangat punya wewenang atas bangunan sekaligus tanah Maliyawan. Bukannya pasrah, imbuhnya, Sekda seharusnya justru menggugat Pemprov apabila melakukan sesuatu yang diduga melanggar aturan.
“Kalau tiba-tiba tanah sudah berpindah tangan sementara aset Pemkot berupa hotel belum dilepas kan ya Pemkot berhak marah. Itu aset Pemkot lho, kenapa diabaikan provinsi. Nah pertanyaan saya adalah kenapa Sekda tak marah namun justru pasrah atas kondisi ini. Apabila Sekda merasa Pemprov “bermain” atau berbuat kekeliruan, ya gugat dong. Jangan diam saja,” tegasnya.
Justru apabila tak ada tanggapan dari Pemkot, Umar menduga ada sesuatu yang salah. Bukan hanya Umar, Wakil Ketua DPRD Solo, Supriyanto juga merasa prihatin dengan sikap Pemkot atas tanah Maliyawan. Supriyanto mengatakan tidak akan memberikan permit untuk permohonan pelepasan aset Maliyawan meski Sekda sudah beberapa kali mengajukan permohonan. “Permohonan pelepasan Maliyawan sudah beberapa kali disampaikan Sekda kepada kami. Namun jawaban kami tidak akan berubah. Kami tetap menolak permohonan pelepasan karena seperti yang kami sampaikan dalam rekomendasi, tanah Maliyawan adalah aset berharga. Sungguh sayang melepaskan tanah itu karena sangat berpotensi mendongkrak PAD,” ujarnya.