by Sri Sumi Handayani Jibi Solopos - Espos.id Lifestyle - Selasa, 26 Juni 2012 - 11:23 WIB
“Saat masuk ke kampus, saya harus mengosongkan budaya yang ada di dalam otak. Dan menerima budaya barat yang saya temui di kampus. Sempat bingung memutuskan saya harus memakai cara apa untuk memadukan dua kebudayaan yang nyaris bertolak belakang. Yang terjadi, saya harus bersikap sesuai dengan kebudayaan di mana saya berpijak saat itu,” jelasnya.
Kali pertama memahami kehidupan di kampus, dia mengaku tak mengerti mengapa puluhan orang duduk-duduk di bulevar UNS. Dia juga bertanya-tanya mengapa orang-orang menikmati duduk berlama-lama di warung hik. Memahami hal yang sering dilakukan orang-orang di luar tembok keraton tentu memiliki kendala tersendiri. Tetapi, lulusan SMA Warga ini enggan menghindar. “Bukan menghindar tetapi harus pandai menyeleksi mau ikut yang mana. Di luar mendapat pendidikan yang keras tetapi tidak bisa diterapkan di dalam Keraton. Tetapi saat di luar, saya bisa membawa budaya saya. Misalnya cara bertutur, bersikap dan beretika di depan teman-teman. Tidak perlu menjadi orang lain.”
Suryo mengaku menemukan pelajaran berharga, yakni menjadi pribadi yang lebih bertanggung jawab untuk melakukan sesuatu sesuai kebutuhan.
Hal serupa dirasakan putra kedua pasangan Hadi Warsito dan Setyowati, RT Dityo Ramadhani. Meski sejak kecil hidup di luar tembok Keraton, dia tak lantas melupakan ajaran di dalam keluarga. “Setiap orang memiliki karakteristik berbeda. Bergaul di tempat umum memang tidak perlu kasta. Tetapi kita wajib jaga diri. Budaya yang diajarkan sejak dini tidak lantas ditinggalkan. Pada dasarnya, kalau kita mau meresapi budaya Jawa itu enak. Tidak ada yang sulit.(”Sri Sumi Handayani/JIBI/SOLOPOS)