Esposin, KLATEN – Membincangkan kopi tak lengkap rasanya jika belum duduk dan berbincang dengan Ie Purnama Sidi, 50. Sejumlah pencinta kopi di Soloraya merekomendasikan sosok berjuluk Simbah tersebut.
Bersama istrinya yang akrab dipanggil Mbah Uti, Warih Irwanti, dua tahun terakhir Simbah mengelola coffee roaster sekaligus menyeduh kopi di kedai Nggone Mbahmu di Jl. Bhayangkara No. 93, Kecamatan Klaten Tengah, Kabupaten Klaten.
Promosi Berkat Pemberdayaan BRI, UMKM Ini Optimalkan Produk Bambu hingga Mancanegara
Di kedai bernuansa putih yang menempati bangunan lawas terawat peninggalan keluarga Simbah itu, pengunjung kerap datang untuk sekadar menyeruput kesegaran secangkir kopi yang baru disangrai sembari duduk menatap taman asri.
Ada juga yang datang khusus membeli biji kopi dari perkebunan petani lokal hasil sangraiannya. Semua pelanggan mendapat bonus, edukasi kopi.
“Dulu saya pikir kopi itu rasanya cuma pahit saja. Tapi setelah nyemplung di roasting, saya baru tahu kalau kopi itu rasanya beragam sekali. Terlebih kopi Indonesia. Saking banyaknya jenisnya, sampai sekarang saya belum kelar meng-explore semuanya,” tutur Simbah ketika ditemui Esposin di Nggone Mbahmu, Selasa (12/2/2019).
Buku The World Atlas of Coffee karangan James Hoffmann mengulas sedikitnya terdapat 120 jenis tanaman kopi yang sudah teridentifikasi. Namun di jalur komersial, hanya ada tiga jenis kopi menonjol yakni Arabika (Coffea arabica), Robusta (Coffea caniphora), Liberika (Coffea liberica), serta turunan Liberika yang punya biji lebih kecil berjenis Excelsa (Coffea excelsa or Coffea liberica var. dewevrei). Jenis Arabika dan Robusta merupakan biji kopi paling populer.
Simbah lantas mengajak ke tempat penyimpanan kopi sekaligus ruang memanggang kopi yang berada persis di samping dapur utama peracik minuman di kedainya. Puluhan kotak transparan berisi biji kopi lengkap dengan label keterangan jenisnya tertata rapi di sana. Ia pun mulai menunjukkan satu per satu perbedaannya.
Secara kasatmata, jenis kopi bisa dikenali dari bentuk fisiknya. Biji Arabika bentuknya lebih lonjong, saat dibelah bagian tengahnya terdapat rekahan berkelok. Sedangkan biji Robusta, bentuknya cenderung bulat dan saat dibelah bagian tengahnya terdapat rekahan lurus. Sementara biji Liberika, ukurannya lebih besar dan bentuk bijinya asimetris.
Soal cita rasa, Arabika yang dulunya jamak dikembangkan di Brazil dan Ethiopia lebih kaya ketimbang varian lain. Kopi yang paling ideal ditanam di ketinggian 1.200 mdpl ini menghasilkan rasa kompleks namun dari sisi perawatan tanaman cukup rumit dan rentan penyakit. Tak heran jika harganya di pasaran lebih tinggi ketimbang Robusta.
“Rasa Arabika lebih fruity. Kalau istilah lokalnya saya definisikan ada asamnya, tapi juga ada manisnya sedikit kayak buah-buahan. Aromanya juga lebih terasa [wanginya disertai buah-buahan, bunga, atau kacang-kacangan] daripada jenis lainnya,” terang Simbah.
Jenis-jenis kopi Arabika populer di Indonesia adalah kopi Gayo, Toraja, Wamena. Ada juga beberapa varian kopi Bali, Flores, serta belakangan bermunculan Arabika dari dataran tinggi Pulau Jawa seperti di Jawa Barat dan di Banyuwangi.
Sedangkan kopi Robusta, bisa ditanam di ketinggian di bawah 800 mdpl dan tahan serangan hama. Kandungan kafeinnya nyaris dua kali lipat kopi Arabika dan cita rasanya lebih pahit. Beberapa daerah yang terkenal dengan kopi Robustanya di Indonesia antara lain Lampung, juga beberapa wilayah penghasil kopi di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. “Karakteristik rasanya yang menonjol itu chocolaty,” ujar Simbah.
Sementara itu, Liberika disebut memiliki cita rasa yang lebih seimbang antara pahit dan manisnya. Simbah menyebut kopi yang punya aroma mirip Nangka tersebut belakangan jamak dihasilkan di Pekalongan. Sedangkan Excelsa dikembangkan di Malang.
Berbeda dari teori yang menyebut menyesap secangkir espresso atau kopi tubruk paling pas dengan Arabika, sedangkan menyeruput segelas es kopi susu paling pas dengan Robusta, Simbah mengembalikan pilihan kepada penikmat kopi. Karena perbedaan proses mulai pascapanen, pemanggangan, sampai penyeduhan bisa menghasilkan varian rasa berlainan.
“Rasa itu sangat individual. Kopi enak itu kontribusinya 50% dari petani, 20% dari proses pascapanen, 20% dari roaster, dan 10% dari barista. Semua balik lagi pada selera,” tuturnya demokratis.