Esposin, SOLO—Aku curiga ada hantu di rumahku. Mula-mula benda remeh, tapi kadang yang penting juga hilang mendadak. Mulanya minyak kayu putih hilang. Ini benda remeh yang dibutuhkan saat udara mendadak dingin atau perut adik kembung. Jepit rambutku yang berwarna pink disusul yang warna biru dan merah. Itu belum termasuk pemotong kuku, cicin ibu, jam tangan, atau yang lain.
Anehnya, kadang benda-benda itu muncul kembali secara ajaib. Oh, kalau kamu bilang aku tidak cermat mencari, kamu salah. Kami bertiga sudah mencari benda-benda itu. Anehnya benda-benda itu muncul kembali di tempat seharusnya.
Promosi Berbagai Program BRI untuk Mendukung Net Zero Emission di 2050
Jika benda yang hilang sementara, aku tidak akan terganggu. Masalahnya kebahagiaan ibu sering hilang sementara pula. Kadang aku melihatnya bahagia. Penandanya jelas, dia akan memberi kami makanan enak, tersenyum, dan bercerita dengan nada riang. Tak hanya itu, ia akan menyisir rambutku dan mengikatnya dengan pita warna-warni.
Tapi, itu sering hanya sebentar saja. Ibu bisa tiba-tiba jadi pemarah. Segala kata-kata menyakitkan keluar dari mulutnya. Tidak, dia tidak memanggilku dan adik dengan nama binatang tertentu. Tapi, ibu selalu bilang aku dan adik sama saja dengan ayah, mantan suaminya itu. Itu benar-benar menyakitkan untukku dan adik sebab ayah memang berengsek.
Aku sering pula melihat ibu duduk melamun, lalu terisak. Aku tahu ia menahan sesuatu yang menyakitkan di dadanya. Itu terlihat dari caranya duduk dan memegang dadanya. Tak hanya itu, suaranya yang lirih menunjukkan bahwa ia menahan agar aku dan adik tak melihatnya menangis.
Di saat seperti itu, biasanya aku lekas mengambil sepeda. Pada ibu, aku pamit untuk berkeliling desa. Biasanya ia tidak mendengar kata-kataku. Pandangannya kosong dan dia mungkin tak tahu bahwa dia masih memilikiku dan adik.
Sudah seminggu ini aku menemukan tempat duduk yang nyaman. Letaknya di sebuah pondok kecil dekat jalan menuju sungai. Ada rumpun bambu di sana, aku bisa melihat persawahan di kejauhan. Kadang ada beberapa orang lewat. Biasanya mereka adalah pemancing yang mencoba peruntungan menangkap ikan di sungai.
Awalnya aku duduk di pondok itu sambil membawa buku. Buku yang sedang kubaca atau buku harianku. Kadang, kalau sepi, aku menangis di sana. Aku sedih melihat kebahagiaan ibuku sering dicuri hantu.
“Kamu ngapain nangis di sini? Lupa jalan pulang?”
Aku menoleh dan terkejut melihat seorang perempuan cantik yang mungkin seusia ibuku. Aku bahkan melihat mata dan bibirnya mirip betul dengan mata dan bibir ibuku.
“Kamu anak yang baru pindah itu ta? Yang ngontrak di rumah cat biru di ujung jalan sana?” tanyanya lagi.
Aku mengangguk. Meski ibu pernah berpesan agar aku tidak berbicara dengan orang asing, entah mengapa aku merasa perempuan itu tidak berbahaya. Memang saat ini sedang marak penculikan anak, tapi rasanya aku tidak akan mengalami itu. Aku cukup yakin, entah mengapa.
“Kamu lagi sedih? Beberapa hari ini aku perhatikan kamu sering ke sini dan kadang nangis di sini.” Perempuan itu duduk di sebelahku. Rambutnya yang panjang halus itu melambai tertiup angin. Aku ingin menawarkan tali rambutku padanya, tapi takut itu tidak sopan.
“Tante percaya hantu?” Aku balas bertanya. Perempuan itu memandangku dan tertawa. Tawanya agak terkikik-kikik. Dia mirip adik ibuku yang tertawa terkikik-kikik sambil menutup mulutnya. Bedanya tante yang ini tidak menutup mulutnya.
“Kenapa nanya gitu?” tanya tante itu setelah dia puas terkikik-kikik. Aku merasa menemukan perpaduan ibu dan adik ibuku dalam wujud tante di sebelahku.
“Aku curiga di rumahku ada hantu, Tante,” kataku. Kulihat tante itu memandangku. Tampaknya dia berusaha menahan kikikannya lagi. Aku menghela napas. “Aku serius, Tante.”
“Kenapa kamu bisa mikir gitu?”
“Banyak benda tiba-tiba hilang lalu tiba-tiba ketemu….”
“Ah, itu mungkin karena kamu tidak mencarinya dengan benar.” Sejujurnya aku sempat memikirkan kemungkinan itu. Tapi, kejadian itu terlalu sering untuk disebut kebetulan.
“Ah, tidak, Tante. Mungkin aku sesekali tidak mencari dengan benar. Tapi, tidak mungkin aku selalu mencari dengan tidak teliti. Benda-benda itu bisa tiba-tiba muncul di tempat yang kami sudah mencarinya. Misalnya, minyak kayu putih selalu diletakkan di kotak obat. Kami cari tidak ketemu. Tapi, keesokan harinya minyak itu bisa muncul lagi di kotak obat.”
“Kamu pikir hantu di rumahmu masuk angin hingga butuh minyak kayu putih?” Tante itu kembali terkikik-kikik. Aku awalnya sebal dengan pertanyaan itu, tapi kemudian ikut tertawa.
“Jadi mungkin hantu di rumahku itu sesekali ingin potong kuku, lalu menjepit rambutnya ya Tante?” tanyaku setelah tawaku selesai. Kami berpandangan dan tertawa bersama. Aku terbahak dan tante itu terkikik. Kikkikkik begitu bunyinya.
“Jadi itu yang bikin kamu sedih akhir-akhir ini?” tanya tante itu setelah kikikannya selesai.
Aku menggeleng. “Kurasa hantu di rumahku juga mulai kurang ajar, Tante. Dia mulai mencuri sesuatu yang lebih penting dari sekadar minyak kayu putih, jepit rambut, atau gunting kuku.”
“Apa yang dicurinya? Apa itu juga bisa kembali mendadak di tempatnya lagi?” tanya tante itu. Aku merasa dia memandangku dengan tatapan simpati.
“Kebahagiaan ibuku, Tante.”
Baca Juga: Pengusir Jin
Kami berdua diam. Aku melempar pandangan ke persawahan dan menikmati suara bambu-bambu yang berkriyet-kriyet. Suara tenggoret di kejauhan dan cicit burung membuat semua suara di sekitarku bagai simfoni alam yang sangat merdu. Sejenak kesedihanku hilang meski aku merasa sedih kembali saat teringat tatapan kosong ibu.
Tante itu merangkul bahuku. Mungkin karena angin yang mendadak bertiup kencang, aku merasa tangan tante itu dingin. Ada aroma semriwing yang tak bisa kujelaskan. Tapi, harus kuakui meski rangkulan itu dingin, aku merasa nyaman.
“Kamu sedih karena hantu di rumahmu kadang mencuri kebahagiaan ibumu?”
Aku mengangguk. Lalu terisak. Aku merasa tangan tante itu mengelus rambutku. Rasa dingin menjalar dari kepala, tengkuk, dan tulang belakangku. Tapi aku tidak bisa beranjak.
“Kamu merasa ibumu tidak sayang padamu?”
Aku kembali mengangguk. “Aku pengin selalu lihat ibu tertawa, memelukku dengan hangat. Atau setidaknya tidak tiba-tiba marah atau menangis. Aku benci pada ibu yang membingungkan. Dan aku benci pada rumah berhantu itu.”
Tante itu sepertinya mengecup ubun-ubunku. Aku kini merasa seluruh tubuhku dingin. Seperti terperangkap di dalam kulkas. Beku. Perlahan aku tak merasa apa-apa, bahkan tak bisa menggerakkan tubuhku meski aku ingin.
“Kamu benar, hati ibumu sudah dicuri hantu. Mungkin sudah dikuasainya. Tak ada cinta di hatinya, cinta yang membuatnya hangat dan penuh kasih. Dia mengabaikanmu dan adikmu, kan?”
Meski tubuhku kaku dan dingin. Tante itu kembali mengecup ubun-ubunku dan terkikik. Aku merasa rambut halus di sekujur tubuhku meremang. Kikiknya agak sedikit terlalu nyaring, tidak nyaman di telingaku.
“Kamu tahu enggak, orang tua yang tidak lagi sayang pada anaknya wajib dihukum. Apalagi kalau sikap mereka benar-benar buruk. Tentu saja jika anaknya adalah anak-anak baik seperti kamu dan adikmu. Mereka harus dihukum dengan rasa sedih yang teramat kental. Kamu tahu darah yang didiamkan beberapa waktu? Kental dan merah kehitaman. Ah, hitam. Nah, mereka harus merasakan kegelapan dalam hidup mereka karena menyakiti anak-anak yang dipercayakan kepada mereka. Jadi, anak-anak yang diabaikan begitu harus Tante bawa untuk dirawat. Kamu mau ikut Tante?”
Susah payah aku menoleh. Aku mulai melihat mata yang semula mirip mata ibuku itu berubah menjadi besar. Sangat besar. Lalu bibirnya merah darah. Aku khawatir memang mulutnya berdarah dan darah itulah yang menempel di ubun-ubunku, menciptakan rasa tidak nyaman.
Rambutnya panjang, panjang betul. Angin bertiup dan aku mencium aroma anyir. Kini kulihat bajunya yang putih panjang hingga kakinya tak terlihat.
“Ikut Tante saja. Ibumu enggak sayang kamu, kan? Ah, bukan, hati ibumu sudah dicuri hantu di rumahmu, kan?” Suaranya mendadak serak. Apa karena dia kebanyakan tertawa eh terkikik?
“Bungaaa… Ya Allah, Nak, kamu di sini? Ibu mencarimu ke mana-mana, Naaak.”
Aku mengenali suara ibuku. Suara itu perpaduan kecemasan dan kelegaan. Aku rasa hantu di rumahku sudah mengembalikan cinta di dada ibuku. Aku lega karena itu dan memutuskan tak mau ikut dengan tante aneh yang menemaniku. “Tante, aku mau ikut ibu saja,” kataku pelan.
Rasanya aku melihat banyak kunang-kunang berterbangan. Kurasa tante itu terkikik dan ia memudar seperti warna crayon di kertas yang digosok dengan kapas.