style
Langganan

Enam Tahun Setelah Taman Kota - Espos Indonesia dari Solo untuk Indonesia

by Baron Y.n.  - Espos.id Lifestyle  -  Minggu, 30 April 2023 - 10:56 WIB

ESPOS.ID - Ilustrasi Cerpen (solopos/Istimewa)

Esposin, SOLO—Yang membuat lelaki itu recok adalah saat Pak Sopir mengatakan kafe yang mereka lewati bernama T-Buko, singkatan dari Taman Buku dan Kopi.

"Aku turun di kafe!" katanya. Penumpang lain-para tamu hotel-menoleh kepadanya sedangkan Pak Sopir tampak bingung.

Advertisement

Ia pernah mendengar nama itu dan nama kafe itu melekat di kepalanya seperti ingatan abadi. Ia lalu terdiam saat Pak Sopir berkata hari sebentar lagi gelap.

Matahari telah mendarat di kaki langit barat dan jalan sangatlah sepi. "Bagaimana caramu pulang?"

"Itu urusanku," katanya.

Mini bus itu lalu menepi. Ia nekat turun di depan kafe. Saat mini bus itu mulai meninggalkannya, ia melambaikan tangan ke arah spion dan jendela, tempat para tamu merapatkan muka di sana. Ia lalu berjalan menuju pintu kafe dengan pikiran Marda, perempuan yang pernah menghantuinya, berada di dalam.

Warna tembok kafe itu ungu. Seorang lelaki menyusun buku-buku ke rak, lelaki lain meladeni para tamu; mereka berkomunikasi dengan secarik kertas. Di dinding belakang kasir, sebuah poster bertuliskan "MOHON TENANG" menempel. Orang-orang di sana membaca buku seperti berdoa. Lelaki itu mengamati sekitar.

"Khodir?"

***

Advertisement

Apa yang terjadi kepada perempuan itu, ia tak tahu. Namun, cacat perempuan itu membuat dadanya nyeri. Napasnya sesak saat roda kursi perempuan itu berderak di lantai.

"Aku tak mau melanggar aturanku sendiri," kata Marda, perempuan itu, sambil menunjuk dinding belakang kasir-sebuah poster "MOHON TENANG". Lelaki itu pun keluar kafe dan menanti di teras.

Di langit, deretan awan seperti kumpulan kapas raksasa dengan bermacam-macam bentuk. Lelaki itu melihat seekor gajah, seekor jerapah, dan seekor kuda di sana, semua itu tampak putih tak bernoda. Lamunannya buyar saat seorang pelayan muncul dengan dua cangkir kopi di nampan; pelayan itu membiarkan pintu kafe terbanting, entah karena tertiup angin, didorong dari dalam, atau memang dirancang begitu.

Pelayan itu tampak gugup, lamban, dan gemetaran saat menaruh cangkir-cangkir.

"Maaf." Pelayan itu menumpahkan kopi di meja. Ia buru-buru menyekanya dengan tisu.

"Apa yang terjadi pada kaki bosmu?" tanya lelaki itu. Ia lalu meraih cangkirnya.

"Enam tahun lalu dia kecelakaan di taman kota."

Advertisement

Lelaki itu tersedak lantas terbatuk-batuk.

"Anda tidak apa-apa?"

"Panas!" Ia berbohong.

"Akan saya ganti kopinya."

"Tak perlu!"

Setelah urusannya selesai, pelayan itu memutar badan dan tampak terkejut saat melihat perempuan itu-bosnya-keluar. Sementara perempuan itu menggelindingkan roda kursinya, pelayan itu membungkuk.

"Dia menumpahkannya." Ia menunjuk sisa tumpahan kopi di meja sambil melirik kaki pincang perempuan itu.

Advertisement

Perempuan itu terkekeh-kekeh. "Apa yang membawamu kemari?"

Ia lalu bercerita bahwa tamu-tamu hotel tempatnya bekerja minta dibawa ke Belimbing, sebuah desa hijau di Tabanan dan menginap semalam di sana. Saat menyadari sudah kesorean, Pak Sopir memutuskan melewati jalan alternatif di belakang bukit-yang akhirnya membawa dia kepada perempuan itu.

Pak Sopir sepanjang perjalanan tak henti-henti bicara. Lalu, Pak Sopir bercerita bahwa sebuah kafe di tepi jalan sangatlah menggelikan. Kafe itu hanya menyajikan kopi dan buku dan yang datang ke sana dilarang berbicara.

"Aku yakin yang dia maksud adalah kafemu," katanya.

Setelah tertawa, perempuan itu menurunkan tangan kirinya dari meja. Ia mengira bahwa perempuan itu menyembunyikan cincin yang melingkar di jari manisnya. Perempuan itu meraih cangkir dengan tangan kanan, meneguk kopi, lalu membuang muka ke utara. Dari langit, kesunyian turun dan hinggap di meja. Mereka berlama-lama duduk di sana.

"Aku senang mimpimu tercapai," kata lelaki itu.

Sebuah neon box bertuliskan T-Buko terpasang di dekat pagar. Perempuan itu menatapnya sambil tersenyum.

Advertisement

Waktu telah berlalu, tapi senyum perempuan itu masih sama seperti kali pertama lelaki itu melihatnya, di masa lampau dalam perjalanan Surabaya ke Denpasar.

Enam tahun lalu, saat menaiki bus, ia melihat perempuan itu bertopang dagu di bangku pojok belakang, memandang keluar jendela dengan sorot mata seperti dalam pengaruh gendam. Kulitnya sewarna mentega, parasnya sendu bagai lagu pengantar tidur, sementara ketenangannya seolah-olah mengatakan bahwa dunia bukanlah tempat celaka.

Ia duduk di sebelah perempuan itu lalu mengira perempuan itu melantur saat berkata, "Pepohonan karet itu seperti barisan tentara." Perempuan itu menoleh, tersenyum, dan berkata sekali lagi, "Bagaimana menurutmu?"

"Sayang sekali mereka tidak mengenakan sepatu lars," jawab lelaki itu.

Renyah suara perempuan itu menyenangkan saat tertawa, sedangkan parfumnya mengingatkan lelaki itu pada kebun bunga milik neneknya.

Kepada perempuan itu ia bercerita bahwa akan bekerja di sebuah hotel di Denpasar. Untuk sementara waktu dia akan serumah bersama pamannya. "Kelak aku akan memiliki rumah sendiri," katanya.

Sedangkan perempuan itu mengatakan kepulangannya ke Denpasar disebabkan hengkangnya ia dari kantor. "Mereka bilang aku aneh," katanya.

Advertisement

Bagaimana tidak, perempuan itu menceritakan tragedi kelaparan di Afrika saat karyawan lain mengobrolkan belanja bulanan. Saat kantornya menolak sopir bertato, ia bilang bahwa penjahat kakap biasanya berjas. Saat bosnya menaikkan harga produk, ia mengungkit melejitnya harga beras.

"Aku disodori surat pengunduran diri. Aku pergi tanpa menandatanganinya," katanya.

Mereka bercengkerama sepanjang perjalanan hingga tak menyadari kalau rombongan awan hitam telah membungkus langit sore. Riuh gempuran hujan membuat mereka membisu sementara hujan belum reda ketika bus menepi di Pelabuhan Ketapang.

"Keberangkatan ke Gilimanuk ditunda!" teriak petugas pelabuhan di tengah riuh hujan.

"Sampai kapan?" tanya lelaki itu.

"Terserah Tuhan!" jawab petugas.

Laut dan langit tampak kelabu kehitaman sementara sergapan udara membuat tulang-tulangnya gemetaran. Ia berlari kemudian, menembus hujan untuk menghampiri perempuan itu, yang berdiri di bawah kanopi kantor pelabuhan dengan tangan terlipat ke depan.

Advertisement

"Keberangkatan ditunda!"

"Sampai kapan?"

"Katanya terserah Tuhan!"

"Kita ke sana!"

Mereka pun berlari menuju hotel di seberang pelabuhan dan berakhir basah kuyup.

"Uang," bisik perempuan itu di lobi dengan bibir menggigil.

Lelaki itu menunjukkan isi dompet; sepi-tersisa beberapa lembar saja. Perempuan itu mengambil lembar-lembar uang itu dan kemudian uang mereka tercampur.

"Sekamar saja," kata perempuan itu kepada petugas lobi.

Baca Juga: Deep Purple dalam Lima Cerita

Itu malam mendebarkan, terutama saat ia melihat perempuan itu seusai mandi berdiri di bawah pijar lampu, mengeringkan rambut dengan handuk. Perempuan itu setenang langit pagi sekalipun sekamar dengan lelaki asing. Perempuan itu lalu menyulut rokok dan memandangi hujan dari balik jendela.

"Aku akan tidur di sini," kata lelaki itu setelah mengambil bantal di kasur dan meletakkannya di bangku sofa.

Ia dihantui keganjilan saat memandangi punggung perempuan itu, membayangkan waktu sebelumnya saat perempuan itu tersenyum kecil di akhir ucapan, perubahan nada bicaranya, gerak-gerik bahu dan kepalanya. Semua itu membuat ia ingin terus bercengkerama dengannya.

Perempuan itu lalu duduk di sudut lantai dengan punggung menyandar pada tembok. "Aku ingin punya kafe," katanya—ia perempuan yang tak segan mengeluarkan isi kepalanya.

Lelaki itu bangkit dan menghampiri lalu duduk di sampingnya. Degup jantungnya ramai saat perempuan itu meletakkan kepala di bahunya.

Aroma perempuan itu membawanya sekali lagi ke masa kecil tatkala ia berlarian di kebun bunga milik neneknya.

"T-Buko? Nama macam apa itu?" tanya laki-laki itu setelah perempuan tersebut bercerita tentang kafe impiannya.

"Itu akronim Taman Buku dan Kopi. Orang-orang ke kafe, membaca buku, dan menikmati kopi."

"Kafe itu akan sepi."

"Mungkin saja meskipun mungkin juga tidak. Tapi tentunya akan menyenangkan."

Agak malam, ia membiarkan kakinya pegal karena perempuan itu terlelap di pangkuannya. Dan ia terkejut saat bangun pagi sekali karena perempuan itu menghilang. Perempuan itu muncul lagi di ambang pintu dengan dua bungkus nasi padang dan teh hangat. Hujan di luar telah reda, sinar matahari dan bayangan dahan pohon masuk kamar melalui jendela.

***

"Ini Ryan, baru tiga hari di sini," kata perempuan itu.

Tangan pelayan itu gemetaran lagi saat menaruh sepiring kentang. Setelah mengangguk kepada lelaki itu, pelayan itu pergi dan menghilang di balik pintu kafe.

“Tidak terlalu sepi, bukan." Perempuan itu menunjuk deretan motor di parkiran dengan hidungnya.

Lelaki itu terkekeh kemudian terdiam agak lama.

"Apakah itu benar, Mar? Maksudku, tadi Ryan bercerita tentang kakimu."

Giliran perempuan itu terdiam, tetapi tak lama.

"Benar atau tidak, apa perlunya. Kita tidak hidup di masa lalu bukan.”

Masa lalu? Ingatan lelaki itu seketika mendarat di kapal yang mereka naiki enam tahun lalu, saat merapat ke Gilimanuk. Mereka berniat turun paling akhir; perempuan itu tak mau berdesakan dengan orang lain. Di pelabuhan, beberapa orang memanggil-manggil Marda, nama perempuan itu, di tengah desir angin dan kicau burung-burung.

"Kita akan bertemu lagi, bukan?" tanya lelaki itu, beriringan dengan riuhnya debur ombak dan deru mesin.Apa maksud pertanyaan itu, ia tak tahu, seperti meluncur saja dari mulutnya dan sempat ia sesali karena perempuan itu terdiam cukup lama.

"Sabtu sore di taman kota bagaimana? Kau bisa bertanya-tanya. Semua orang tahu taman itu."

"Aku akan datang!" katanya. “Kau akan datang, bukan?”

“Pasti!”

"Jika tidak? Kau tahu, takdir tak bisa ditebak, Mar."

Ia menemukan kebimbangan di wajah perempuan itu. Di pelabuhan, orang-orang semakin kencang memanggil namanya.

"Jika tidak, aku tahu alamat hotelmu, bukan!" kata perempuan itu sebelum akhirnya berdesakan menuruni tangga, melewati jembatan untuk mencapai pelabuhan.

Sabtunya, ia menanti perempuan itu di bangku taman dari sore hingga malam. Ia pergi pada pukul sembilan malam dengan langkah kaki seperti menyeret bola besi.

Semenjak itu, ia merasa hari-harinya selalu malam, sarapannya terasa hambar, dan pekerjaan apa pun terasa sukar di tangannya. Baru ia sadari setelah itu bahwa yang dilakukan perempuan itu kepadanya membuat kemurungan yang tak pernah ia sangka bakal menimpanya.

***

"Aku selalu berharap kemunculanmu, Mar. Maksudku, kau tahu hotelku, bukan. Semestinya kau bilang padaku apa yang menimpamu.”

"Tak bisakah kita membicarakan yang lain?"

"Semua ini belum selesai, Mar."

"Kita tak pernah memulai apa pun, Khodir dan kita tak perlu menyelesaikan apa pun." Perempuan itu membuang muka, menyeka pelupuk mata.

Sebuah sedan hitam menepi. Seorang lelaki turun kemudian melambaikan tangan. Perempuan itu membalasnya dengan senyum ganjil. Lelaki sedan itu lalu menyeberang jalan, menghampiri perempuan itu.

"Tunggulah di dalam," kata perempuan itu.

Khodir, si lelaki itu, menatap lelaki sedan yang menatapnya, yang kemudian memutar badan dan melangkah ke pintu kafe.

"Aku pulang sebentar lagi."

"Kau pernah menyalahkanku?" tanya lelaki itu dengan datar.

Tiupan angin merontokkan daun-daun mati di seberang jalan lantas menyeretnya ke barat bersama debu-debu dan sampah-sampah. Hari mulai gelap, lampu-lampu di tiang-tiang tepi jalan menyala satu per satu.

"Kau tahu, puluhan kali aku berniat menemuimu. Aku berhenti di seberang hotel, tapi terdiam di mobil. Aku bahkan menurunkan jendela saat kau menyeberang jalan. Kau begitu dekat dan aku ingin menghampirimu. Saat sopirku membantuku keluar, aku tersadar akan kakiku, kondisiku, dan aku menyadari bahwa aku bukan lagi perempuan yang kau kenal di bus itu, di kapal itu."

Lelaki itu terkejut. Perkataan perempuan itu membangkitkan kesedihan sampai tingkat tertentu dalam dirinya, membuatnya diam, dan membuat sekujur badannya beku. Ia tetap terdiam saat perempuan itu berpamitan kepadanya.

Roda kursi berderak. Si lelaki sedan membawa perempuan itu ke seberang jalan dan sedan mereka melaju kemudian. Seorang pelayan, yang tadi telah lelaki itu ceritakan keluar dengan plastik sampah.

"Kau tahu hotel terdekat?" tanya lelaki itu setelah berjalan menghampiri.

"Tak ada hotel di sini."

 

Advertisement
Ayu Prawitasari - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif