style
Langganan

Cerpen Ramalan Sang Pujangga

by Muhamad Pauji  - Espos.id Lifestyle  -  Selasa, 1 Februari 2022 - 21:09 WIB

ESPOS.ID - More than just publish.

Esposin, SOLO -- Ketika beberapa teman mengajak saya untuk menemui Bahri Sukardi, yang dikenal sebagai “Penyair Binatang Jalang”, saya setuju-setuju saja.

Tetapi, saat mereka mengajak saya memasuki gedung berlantai tiga, yang kabarnya di gedung megah itulah Bahri bertempat tinggal, kontan saya menjadi terperangah kaget. Betapa tidak.

Advertisement

Awalnya, saya hampir tak percaya, apakah benar saya akan berjumpa dengan sosok misterius itu? Bukankah Bahri Sukardi sudah wafat beberapa tahun lalu?

Pada saat berhadapan dengannya, saya kurang begitu yakin. Bahkan, kurang mengenali wajahnya. apakah benar dia Sang Binatang Jalang yang selama ini saya lihat di buku-buku sastra itu?

Tampaknya dia berwajah oval, putih dan tampan? Bukan seperti wajah tirus dan kurus, dengan sorotan mata tajam seperti yang tergambar dalam cover buku-bukunya?

Bahri yang saya lihat itu bukan seperti Bahri yang ada dalam benak saya selama ini. Tampaknya dia memiliki mata yang agak sayu dan sipit memicing. Beda dengan tatapan mata garang menyala seperti dalam foto-foto berwarna hitam-putih itu?

Kini, saya melihat wajahnya bagaikan aktor dan selebritas papan atas dalam sinetron Indonesia maupun acara-acara entertainment di layar televisi selama ini.

Tetapi pada akhirnya, saya menyadari, bahwa itu memang Bahri Sukardi, sang penyair binatang jalang yang terkenal itu.

Terlihat beberapa penggemar mendekatinya, dan menyapanya dengan panggilan “Bang Bahri”. Mereka saling berbincang dengan kikuk dan penuh keraguan.

Advertisement

Beberapa penggemar menanyakan pertanyaan aneh yang sebenarnya tak perlu dipertanyakan. Seorang teman memperkenalkan saya sebagai penulis muda, lalu dia pun menyalami saya dengan akrab, dan dengan senyumnya yang hampa dan penuh basa-basi.

Saat itu, meskipun hanya beberapa menit, saya telah berjumpa dengannya.

Sosok yang dielu-elukan banyak penulis generasi muda. Meskipun dalam lubuk hati, ngapain juga berjumpa dengan penyair dan sastrawan gaek yang terkenal itu? Apakah orang itu mau memberi jalan keluar bagi dunia sastra di negeri antah barantah ini?

Ketika wilayah ilmu kesusastraan dan kebudayaan dibuat lumpuh oleh penguasa Orde Baru selama 32 tahun, kemudian berturut-turut penguasa baru tak pernah memberikan solusi dan jalan keluar yang berarti, mau ngapain coba?

Apakah dia mau memberi kami jalan terang yang lurus, dari segala kelokan gelap berliku, di saat ribuan sastrawan muda beradu nasib di kota-kota besar dan kecil.

Di kepala mereka terhampar selaksa puisi dan naskah-naskah prosa yang berseliweran, tanpa pernah ada kejelasan ujung-pangkalnya?

Bagaimanapun, inilah tantangan bagi para penulis dan sastrawan muda seperti saya. Ada masanya ketika kita tak memiliki dukungan sama sekali, bahkan teman dekat sekalipun ogah meluangkan waktu untuk menelaah dan menelisik karya-karya kita.

Advertisement

Ketika berbagai pertanyaan diajukan dari penggemarnya, sang binatang jalang itu hanya manggut-manggut saja. Dia malah bicara dengan mengutip-ngutip beberapa karya sastra dari luar negeri yang dianggap menakjubkan. Lalu, apa urusannya dengan karya-karya kita di sini, dan saat ini?

***

Setelah beranjak dewasa, dan usia saya menginjak 30-an, saya pun menyadari bahwa saya sedang menjalani waktu yang seakan terlepas dari sebutan “penulis muda” lagi. Saya duduk terpana. Dan ternyata saya sanggup menjalani hidup sebagai penulis independen, tanpa ada sokongan dari pihak manapun, bahkan dari pemerintah sekalipun.

Pada waktu-waktu itu, saya semakin menyadari bahwa saya telah menjadi anak semua bangsa, tanpa harus membelenggu diri dalam segala aksesori kesukuan, kebangsaan maupun keagamaan.

Terbersit dalam pikiran saya untuk mencoba mengadakan korespondensi dengan Bahri si Binatang Jalang, yang saat itu usianya sudah lebih dari 70-an tahun. Namun ironisnya, seringkali saya melihat dirinya merasa kesepian, menggerutu dan mencaci-maki tak keruan.

“Omong kosong dengan sastra Indonesia! Semuanya itu hanya taik kucing!” katanya sambil mengepulkan asap rokok ke muka saya.

Dalam beberapa kali pertemuan, saya bercerita tentang kehidupan dan kediaman saya yang sederhana di Banten Utara, suatu daerah yang dulu pernah dikuasai Belanda, Jepang, kemudian menyusul para penguasa militerisme Orde Baru dan para makelar pengusaha dan politisi dalam negeri, yang tak kalah bengisnya dengan para pedagang sejak pendudukan zaman VOC dulu.

Advertisement

Dalam sepanjang perkenalan kami, sudah bisa ditebak manakala penyair dan sastrawan terkemuka, bersahabat dengan penulis muda yang belum begitu terkenal seperti saya. Dia membacakan puisi-puisi hasil karya saya dalam beberapa kali penampilan di atas panggung, dengan dalih memperkenalkan karya-karya penulis muda.

Dengan terhipnotis oleh pesona dan sorotan matanya, saya pernah memercayai segala ramalan-ramalan akan munculnya para penulis generasi muda tahun 2022 dan seterusnya. Dia menyebut adanya tujuh orang yang akan tampil dan terkenal di jagat kesusastraan Indonesia. Lalu, dia menyebut namanya satu per satu, tetapi saya mencatatnya enam nama saja.

Dia tidak menyebutkan orang ketujuh, yang barangkali adalah saya sendiri. Ya, siapa lagi kalau bukan saya? (pikir saya penuh percaya diri).

Yang membuat saya terheran-heran, ketika dia menyebut nama yang keempat, Rizal Munarman, yang barangkali dia kurang menyimak berita kematiannya beberapa tahun lalu karena kasus obat-obatan terlarang.

Sedangkan nama yang ketiga, Salimi Muljam, yang menurut saya terbaik dari semuanya, kini sedang mendekam di jeruji besi karena kasus pelecehan dan pencabulan terhadap seorang mahasiswi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) di rumah indekosnya.

Beberapa nama lagi yang dinilainya akan booming ke depan adalah Beni Sumanto dan Dewi Sutami. Yang satu seorang seniman berpenampilan laiknya hippies dan senang bertualang dari pantai ke pantai, mengumpulkan kerang dan rumput laut, untuk disetorkan kepada pengusaha China di bilangan Bekasi.

Sedangkan yang kedua, seorang wanita muda yang pernah meluncurkan antologi puisi dan kumpulan cerpen, yang pernah diterbitkan oleh salah seorang saudaranya yang memiliki usaha percetakan di wilayah Ciputat, Tangerang Selatan.

Advertisement

Sastrawan binatang jalang itu menyebut nama-nama itu bagaikan “anak-anak macan” yang akan menjelma harimau dan macan kumbang. Seorang teman yang menemani saya menyatakan bahwa saya juga sudah menulis beberapa novel dan kumpulan cerpen, tetapi apa perlunya bagi Bahri menanggapi omongan itu.

Rupanya dia sudah mengenal saya, dan saya pun kenal sekali dengan karya-karyanya. Ketika dia menjabat tangan saya untuk pertama kali, terasa sekali lengan saya diselimuti oleh kegelapan yang mencekam. Tangan yang begitu kaku dan dingin. Tangan seorang manusia yang seakan diliputi duka dan nestapa dalam waktu yang cukup lama.

Perkenalan yang kosong itu, seakan merupakan isyarat dari wajah-wajah kuyu dan hampa, yang mencerminkan gestur dari mulut-mulut membisu, yang tak bakal mengucapkan sepatah kata pun saat kita berjabatan dengannya.

***

Beberapa penggemar angkat bicara dan meminta Sang Binatang Jalang berpendapat tentang kondisi Indonesia saat ini. Saya merasa jengkel menyaksikan ulah para intelektual dan sastrawan itu. Apa yang dimaui oleh mereka sebenarnya?

Bukankah mereka juga pernah hidup di era Soeharto sewaktu menjadi seniman-seniman muda dulu? Mereka pernah berdemo turun ke jalanan saat gegap-gempita “reformasi” tahun 1998, ketika menjatuhkan pemerintah Orde Baru dulu?

Mengapa mereka tak mau membuka mata-hatinya saat menyaksikan Bahri dalam konteks hari ini, yang jauh berbeda dengan Bahri yang dulu dikenal sebagai binatang jalang itu?

Advertisement

Mereka sebenarnya hanya membutuhkan Bahri yang dikenal dari cover-cover bukunya yang tirus bermata garang, sebagai penyair dan seniman berhaluan kiri marjinal yang menggemparkan jagat kesusastraan Indonesia. Bukan Bahri dalam konteks saat ini yang glamor, berwajah bak selebritas di sinetron televisi atau di film Hollywood, bahkan berdomisili di bangunan gedung megah berlantai tiga.

Ketika saya menyadari hal ini, saya merasa lebih baik darinya. Saya semakin memahami situasi dalam konteks saat ini, hingga merasa segalanya menjadi lucu dan menggelikan. Apa yang layak dibanggakan darinya?

Dari kantong kemejanya yang licin dan necis, Bahri mengeluarkan beberapa butir pil dan mendorongnya dengan air putih setelah seorang nenek tua menyuguhkannya di atas meja. Para penggemarnya terdiam kaku, dan semakin kaku ketika Si Binatang Jalang itu menyatakan bahwa dia harus meminum belasan butir pil dalam setiap harinya.

Tak lama kemudian, muncul seorang penggemar membisiki Bahri. Dialah yang bernama Salman Saifullah, yang konon diprediksi akan booming terkenal juga, dan Bahri menyebutkan namanya pada nomor urut keenam seperti yang saya catat terdahulu. Orang itu pernah saya lihat saat penampilannya yang menggebu-gebu ketika membacakan bait-bait puisi karya Bahri di teater mini Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.

Saya pun pernah melihatnya di emperan Pasar Malioboro, sambil menjual novel Pikiran Orang Indonesia karya penulis Banten. Siang itu, Bahri memperkenalkan saya kepada Salman, yang juga sangat berbeda dengan wajah Salman yang saya lihat bertahun-tahun lalu. Ia mengenakan jaket kulit dengan kalung emas dan jari-jari bercincin kalimaya, sambil menggeser-geser layar ponsel terbaru yang harganya mencapai puluhan juta.

Tak lama kemudian, muncul dari lantai bawah seorang penggemar lain menaiki tangga dengan berjalan sempoyongan sambil menghisap rokok kretek di tangannya.

Dia adalah orang kelima yang disebutkan Bahri, yang saya kenal dari beberapa novel dan kumpulan cerpen yang pernah ia tulis. Seketika Bahri menatapnya dengan bengis dan penuh amarah, ketika pemuda itu berjalan teler ke arahnya. Tiba-tiba tamparan keras menghujam dari tangan Bahri, menghantam pipi kiri dan kanannya.

Advertisement

“Taik kucing! Bangsat kamu!” teriak Bahri. “Sudah saya bilang, kamu jangan minum-minuman di tempat ini pada waktu kerja begini, ngerti?”

Ternyata, penulis muda yang diprediksi akan terkenal itu, telah bertahun-tahun bekerja membantu Bahri, sejak ia bercerai dengan istrinya. Ia juga diperintahkan Bahri untuk mencuci piring, pakaian, mengepel lantai, hingga menjemur kasur dan bantal pada hari Minggu.

Dia menampar penggemarnya itu, barangkali karena ingin menjaga kharisma dan wibawanya di hadapan saya, dan tidak mau melihat salah seorang anak buah yang diprediksi sebagai generasi jaya, tiba-tiba berperilaku memalukan di hadapan tamu dan penulis seperti saya.

Akhirnya, saya pun pamit dan keluar dari gedung itu, turun ke lantai bawah, dan keluar melalui pintu utama. Dari kejauhan saya menatap gedung berlantai tiga itu, melongok ke atas, dan melihat Bahri seperti membaca reaksi saya dari kejauhan. Saya tidak tahu, apa yang diperlakukannya kemudian terhadap sastrawan muda sekaligus pembantunya itu.

Yang jelas, saya tak peduli lagi dengan segala prediksi dan ramalannya tentang masa depan para sastrawan. Kini, saya hanya menganggapnya sebagai pujangga dan sastrawan tua pemuja takhayul, yang keberadaannya sama saja dengan ketiadaannya.

 

Muhamad Pauji Pegiat organisasi kepemudaan OI (Orang Indonesia), penulis cerpen dan esai sastra di berbagai media lokal dan nasional.

Advertisement
Damar Sri Prakoso - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Kata Kunci : Cerpen Pujangga Ramalan
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif