Dengan latar belakang itulah, Surosso menggarap batik warna alam di kawasan Banguntapan, Bantul, Yogyakarta sejak 2005 lalu. Mode cutting asimetris dan desain pecah pola pun dilakukan oleh Suroso alias Rosso dengan Batik Warna Alam Rosso miliknya.
Promosi Berkat Pemberdayaan BRI, UMKM Ini Optimalkan Produk Bambu hingga Mancanegara
Produsen batik yang menggunakan bahan baku dari kulit kayu, daging kayu dan daun-daunan untuk dasar pewarnaan batiknya ini membuat busana siap pakai dengan teknik jumputan maupun batik cap. Hasilnya warna-warna natural seperti cokelat, kuning, pink pucat, hijau muda, abu-abu dan ungu tampil lebih elegan dengan sentuhan batik cap atau teknik pewarnaan alami.
Hal tersebut juga dilakukan oleh Batik Mahkota Laweyan yang berlokasi di kawasan Kampung Batik Laweyan Solo. Namun gerai ini masih fokus memproduksi kain batik warna alam dan belum bermain di desain bajunya. “Kami menggunakan warna alam dari gambir, kayu tingi, indigo, serbuk tegeran dan kayu secang,” kata Alpha Febella Priyatmono, sang pemilik.
Untuk menampilkan warna yang lebih cerah, sambungnya, dia membuat variasi warna dari bahan alam dan membubuhkan sedikit pewarna kimia pada motif. “Namun ada juga yang murni menggunakan warna alam, seperti batik warna alam dari kayu tingi, gambir dan indigo.” Untuk motif, Batik Mahkota Laweyan mempertahankan motif-motif klasik dan sebagian motif kontemporer.
Diakui Alpha, dia baru satu tahun merintis produksi batik warna alam, namun dia siap memberikan workshop dan wisata batik warna alam di Kampung Batik Laweyan pada tahun ini. “Saat ini sudah ada lima titik di Kampung Batik Laweyan yang mengerjakan batik warna alam, di antaranya Batik Pulau Jawa, Batik Lor Ing Pasar, Batik Catleya, Batik Aryu dan Batik Mahkota,” jelas Alpha yang juga Koordinator Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan itu.
JIBI/SOLOPOS/Eri Maryana