style
Langganan

Awas Hipoksia di Daerah Tinggi - Espos Indonesia dari Solo untuk Indonesia

by Lutfiyah Jibi Solopos  - Espos.id Lifestyle  -  Rabu, 16 Mei 2012 - 08:53 WIB

ESPOS.ID - CAPAI PUNCAK-Anggota Perhimpunan Mahasiswa Pecinta Alam (PMPA) Vagus Fakultas Kedokteran UNS mencapai puncak Gunung Semeru, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. (FOTO/Istimewa)

Berada di dataran tinggi seperti puncak gunung diyakini memberi sensasi tersendiri bagi sebagian orang. Mereka khususnya para pendaki gunung menyebut di puncak gunung keindahan alam tergambar dengan jelas, belum lagi awan yang jaraknya begitu dekat dengan puncak gunung sehingga para pendaki ibarat berada di negeri di awan. Meski begitu, tempat ketinggian ternyata dapat berbahaya bagi kesehatan khususnya bisa menyebabkan orang terkena hipoksia. Dosen Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS), dr Andi Yusuf MKes, mengatakan ancaman di puncak gunung yang cukup nyata adalah hipoksia atau kekurangan oksigen. Semakin tinggi tempat, tekanan udara semakin rendah sehingga berpengaruh terhadap kandungan oksigen yang juga semakin rendah. Kandungan oksigen yang rendah tersebut salah satunya membuat jantung semakin kuat memompa. Kondisi itu pada penderita penyakit jantung dapat memicu terjadinya serangan. “Pada orang yang sehat pun ketika dia naik gunung atau tempat tinggi, napasnya bisa tersengal-sengal karena efek mencari oksigen yang jumlahnya terbatas,” katanya. Dia menambahkan pada orang yang tidak teraklimatisasi atau belum beradaptasi terhadap lingkungan ketinggian, dapat menimbulkan beberapa gangguan seperti iritabilitas muncul pada ketinggian 3.500 meter, sementara pada ketinggian 5.500 meter, gejala hipoksia menjadi lebih berat dan pada ketinggian di atas 6.100 meter atau 20.000 kaki, kesadaran umumnya bisa hilang. “Daerah tertinggi habitat permanen manusia itu berada di ketinggian 5.500 meter,” katanya. Andi menjelaskan pada saat kali pertama sampai di daerah tinggi, banyak orang yang mengalami mabuk pegunungan atau mountain sickness sementara. Sindrom tersebut muncul delapan sampai 24 jam setelah sampai di ketinggian dan berlangsung empat sampai lima hari. Keadaan tersebut ditandai dengan iritabilitas, nyeri kepala, insomnia, sesak napas, mual dan muntah. Penyebabnya belum dipastikan namun tampaknya berkaitan dengan edema serebri (bertambahnya cairan di dalam otak ). “Penyakit akibat ketinggian juga bukan saja mabuk pegunungan tapi ada penyakit lain atau sindrom yang lebih serius yakni edema otak akibat ketinggian dan edema paru akibat ketinggian,” katanya. Pada edema otak akibat ketinggian, lanjutnya, kebocoran pada mabuk pegunungan berlanjut menjadi pembengkakan otak yang nyata disertai ataksia (kegagalan koordinasi otot), disorientasi dan pada sebagian kasus koma dan kematian akibat herniasi otak melalui tentorium. “Edema paru akibat ketinggian adalah edema bercak di paru yang berkaitan dengan hipertensi pulmonal berat yang terjadi di ketinggian,” terangnya. Semua penyakit akibat ketinggian, sambungnya, akan berkurang salah satunya jika pasien turun ke daerah yang lebih rendah. Karena itu, sebelum naik gunung, para pendaki sebaiknya melakukan cek kesehatan dan latihan fisik seperti senam, jogging dan olahraga lainnya secara rutin. “Ketika berada di gunung, gaya hidup sehat harus tetap dijaga seperti jangan merokok. Apalagi, kandungan oksigen di gunung atau ketinggian kan rendah,” katanya. Anggota sekaligus petugas humas PMPA Vagus Fakultas Kedokteran UNS, Jeanne Fransisca, mengatakan hipotermia atau kedinginan juga kerap dialami para pendaki gunung. Bahkan, dalam beberapa kasus, pendaki gunung meninggal akibat hipotermia karena suhu di puncak gunung jauh lebih dingin bahkan bisa mencapai minus dua derajat. Dia menerangkan beberapa gejala hipotermia di antaranya tubuh menggigil, hilang kesadaran, pucat, denyut lemah. “Kalau sudah terkena gejala tersebut, sebaiknya segera melakukan penanganan seperti menghilangkan sumber dingin, kaus kaki basah atau baju basah yang dikenakan pendaki sebaiknya segera diganti yang kering, kurangi luas paparan dari sumber dingin. Ada baiknya ketika naik gunung mengemut permen atau minum air gula merah untuk menambah energi,” katanya.

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Is Ariyanto - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif