Esposin, SOLO-Anak korban kekerasan seksual seperti yang dialami bocah berusia 7 tahun di Karanganyar, belum lama ini, pasti mengalami efek traumatis. Apalagi rumah tersangka berhadap-hadapan dengan rumah korban.
Namun efek traumatis yang dirasakan setiap anak korban seksual berbeda-beda, tergantung sejumlah faktor. Sebelum membahas dampaknya, terlebih dulu mari mengenali cara-cara kekerasan seksual yang dilakukan pelaku terhadap korban.
Promosi Kisah Perempuan Hebat Agen BRILink Dorong Literasi Keuangan di Medan
Cara kekerasan seksual yang dilakukan pelaku terhadap korban anak ini juga merupakan salah satu faktor penentu efek traumatis. Dikutip Esposin dari penelitian ilmiah berjudul Dampak Psikologis Jangka Panjang Kekerasan Seksual Anak (Komparasi Faktor: Pelaku, Tipe, Cara, Keterbukaan Dan Dukungan Sosial) yang diterbitkan oleh Universitas Persada Indonesia YAI, Kamis (23/9/2021), diketahui bahwa kekerasan seksual pada anak meliputi tiga aspek penting:
1. Kekerasan seksual dilakukan dengan paksaan dan kekerasan fisik
Ada hubungan yang signifikan antara penggunaan paksaan dan kekerasan dengan tingkat trauma yang dilaporkan anak korban kekerasan seksual. Seringkali kekerasan seksual dilakukan bersamaan dengan kekerasan fisik, seperti pukulan, tendangan, jambakan yang dapat menimbulkan luka pada fisik anak.2. Kekerasan seksual dilakukan dengan paksaan, namun tanpa kekerasan fisik
Selain kekerasan fisik kekerasan seksual juga bisa dibarengi dengan kekerasan mental. Kekerasan mental dapat berupa ancaman, paksaan dan iming-iming berupa rayuan dan bujukan kepada korban.Baca Juga: Bejat! Pria 52 Tahun di Karanganyar Cabuli Bocah 7 Tahun Pakai Selang Air
3. Kekerasan seksual dilakukan tanpa paksaan dan tanpa kekerasan fisik
Pada cara ini korban tidak atau belum mampu memberikan persetujuan atas tindakan yang dilakukan pelaku karena ketidaktahuan korban sebagai seorang anak.Ada sejumlah faktor pemicu yang membuat efek traumatis tersebut menjadi efek jangka pendek atau jangka panjang bagi anak korban kekerasan seksual antara lain:
1. Pelaku
Kekerasan seksual kepada anak dapat terjadi di mana saja, dan dilakukan oleh siapa saja, bahkan pelakunya umumnya adalah orang-orang terdekat yang dikenal baik oleh korban, bisa saja keluarga, seperti paman, bibi, orangtua kandung atau tiri dan saudara sepupu atau kenalan korban, seperti tetangga dan teman bermain.Baca Juga: Kontroversi MSG, Berbahaya atau Tidak untuk Tubuh?
Semakin dekat hubungan pelaku dengan korban, semakin tinggi pula risiko korban mengalami masalah psikologis. Identitas pelaku yang paling umum adalah ayah biologis (50%), saudara kandung (14,4%), ayah tiri (13,9%), dan pacar orang tua (12%)
2. Jenis kekerasan seksual yang dialami korban
Individu yang mengalami kekerasan seksual pada masa anak-anak cenderung beresiko tinggi mengalami gangguan psikologis di masa dewasa. Semakin parah kekerasan seksual yang dialami korban, semakin besar pula resiko korban mengalami masalah psikologis.3. Dukungan sosial
Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima oleh korban kekerasan seksual maka akan semakin tinggi psychological well-being korban. Artinya dukungan sosial akan mempermudah korban kekerasan seksual berdamai dengan dirinya. Sebaliknya, efek psikologi jangka panjang ini juga bisa semakin parah jika lingkungan anak bertumbuh justru tidak mendukung pemulihan anak pasca mengalami kekerasan seksual. Misalnya lingkungan justru menyalahkan anak atas kejadian yang menimpanya, bersikap acuh, mengejek, atau menceritakan kejadian yang dialami anak kepada banyak orang.Baca Juga: Bermanfaat bagi Tubuh, Bikin Smoothie Bowl untuk Sarapan Yuk!
Kondisi ini diperparah jika lingkungan sosial pelaku berada pada lingkungan sosial korban, misalnya pelaku kekerasan seksual adalah kenalan korban atau bahkan keluarga korban sendiri dimana korban menjadi sering bertemu bahkan berinteraksi dengan pelaku. Ketidakadaan dukungan sosial mempersulit anak berjuang melawan trauma pasca kekerasan seksual yang dialaminya.
4. Cara kekerasan seksual tersebut dilakukan
Kekerasan seksual yang dilakukan kepada anak seringkali disertai kekerasan lainnya, baik berupa kekerasan fisik maupun kekerasan mental. Korban yang mengalami kekerasan seksual pada masa anak-anak dua kali lebih mungkin mengalami kekerasan fisik secara bersamaan selama masa kanak-kanak, Kekerasan fisik dapat berupa pukulan, tamparan, dan paksaan yang dapat melukai fisik maupun mental korban. Sedangkan kekerasan mental yang diucapkan secara verbal dapat berupa ancaman, bentakan, dan hinaan yang bisa membuat anak menjadi takut, malu, merasa terhina dan marah.5. Keterbukaan
Banyak korban memilih menyimpan sendiri peristiwa kekerasan yang dialaminya. Korban merasa merasa bersalah, malu kotor, atau takut sehingga tidak menginginkan peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya diketahui oleh beberapa orang. Apalagi jika orang-orang yang mengetahui peristiwa kekerasan seksual tersebut memakai kejadian itu sebagai bahan ledekan, ancaman, atau peristiwa itu disebarluaskan kepada banyak orang.Kondisi ini membuat anak mengalami tekanan mental yang sangat hebat, di mana pada usia yang masih sangat dini dan butuh perlindungan orang tua, anak-anak justru menyimpan tekanan psikis sendirian, tanpa bantuan orang lain.